Tax amnesty bukan solusi jitu untuk keluar dari kesulitan

Tax amnesty bukan solusi jitu untuk keluar dari kesulitan

Kebijakan pemerintah menggunakan instrumen investasi untuk menampung dana-dana repatriasi dari tax amnesty memiliki resiko tinggi, karena berpotensi memicu terjadinya refinancing risk


Refinancing Risk

Terancamnya APBN, akan semakin diperparah oleh kebijakan pemerintah yang menyiapkan instrument investasi berupa Surat Berharga Negara (SBN), baik dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam denominasi Rupiah maupun valuta asing (misalnya US Dollar, Euro, dan lain-lain), saham, dana investasi real estat (DIRE), reksadana, dan surat berharga BUMN, sebagai instrument yang akan menampung dana-dana hasil repatriasi asset dari kebijakan tax amnesty.

Pemerintah kabarnya telah menyiapkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) seri khusus dengan nilai awal sebesar Rp. 100 triliun.

Kebijakan pemerintah menggunakan instrumen investasi untuk menampung dana-dana repatriasi dari tax amnesty memiliki resiko tinggi, karena berpotensi memicu terjadinya refinancing risk (gagal pelunasan hutang) yang dapat menyebabkan pembayaran utang lama dengan menerbitkan utang baru berbiaya lebih besar.

Kondisi ini terutama terjadi ketika penerimaan negara tidak mencapai target yang telah ditetapkan, dan bila terjadi penarikan dana dalam waktu yang bersamaan yang dapat menyebabkan tekanan harga SBN di pasar sekunder. Ini biasanya didorong oleh tingginya yield yang ditawarkan oleh SBN negara-negara lain. Apabila dana tersebut ke luar dari pasar dalam negeri, dapat menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan mengurangi cadangan devisa.

Terlebih pada sisi lain instrumen investasi seperti SBN tidak bisa mengunci dana repatriasi dalam kurun waktu yang cukup lama, misalnya 3 tahun. Ini disebabkan SBN tidak memiliki sistem yang memungkinkannya untuk melakukan lock up seperti bank persepsi.

Sementara bank persepsi sendiri cenderung tidak diminati oleh warga negara Indonesia pemilik dana di luar negeri karena pengawasannya terlalu ketat dan cenderung melanggar udang-undang kerahasian perbankan.

Dalam sistem bank persepsi, perbankan menjadi bank gateway yang akan membuat kontrak dengan nasabah (bukan rekening biasa), sehingga tidak akan di campur dengan yang lain (rekening khusus). Selain itu peserta tax amnesty juga harus menandatangani surat kuasa bahwa laporan investasinya diserahkan ke Ditjen Pajak. Sehingga Ditjen Pajak bisa memantau keberadaan dana repatriasi tersebut. Setiap bulan bank gateway akan memberikan laporan perkembangan dana-dana yang bersumber dari repatriasi kepada Ditjen Pajak.

Kecenderungan dana repatriasi masuk ke bank persepsi membuat pemerintah cenderung memaksakan dana repatriasi masuk ke pasar modal/keuangan. Padahal aliran dana yang masuk ke pasar modal rentan membuat guncangan terhadap keuangan negara, yang pada gilirannya berimbas pada perekonomian dalam negeri.

Terlebih sampai saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada konsumsi (termasuk belanja pemerintah).

Terlebih instrumen investasi, seperti SBN pada dasarnya merupakan utang negara kepada publik yang dihimpun melalui pasar modal/keuangan, beresiko tinggi, karena merupakan utang-utang jangka pendek (bertenor pendek; kurang dari 2 tahun).

Demikian, tax amnesty sesungguhnya bukanlah solusi jitu, untuk membawa bangsa ini keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Sebaliknya, kebijakan tax amnesty yang ditempuh pemerintah masih berputar-putar pada persoalan klasik; pembiayaan yang bersumber dari utang, baik itu utang luar negeri maupun utang publik.

Padahal yang dibutuhkan dan ditunggu rakyat hari ini adalah perubahan mendasar kebijakan angaran, yaitu melepaskan bangsa ini dari ketergantungannya pada utang. Agar bangsa ini bisa mandiri dan berdaulat seperti janji Nawacita. (ip)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda