Pramoedya Ananta Toer - Inem dikawinkan dengan Markaban

Pramoedya Ananta Toer - Inem dikawinkan dengan Markaban

Bapak si Inem seorang pengadu jago. Tiap-tiap hari kerjanya hanya berjudi dengan pertarungan jagonya. Ibu pernah bilang padaku, bapak si Inem kerjanya yang terutama ialah membegal di tengah hutan jati


Inem adalah kawanku di antara kawan-kawan perempuanku. Ia berumur delapan tahun jadi dua tahun lebih tua daripada diriku sendiri. Ia tak berbeda dengan kawan-kawanku yang lain.

Dan kalau perbedaan itu ada ialah ini: ia tergolong cantik buat gadis-gadis kecil di kampung kami. Senang orang melihatnya.

Ia sopan, tak manja, cekatan dan rajin. Sifat-sifat yang segera memashurkan namanya sampai di kampung sebelah-menyebelah. Inem patut benar jadi temanku.

Dan pada suatu kali sedang memasak air di dapur, ia berkata padaku :

“Gus Muk, aku akan dikawinkan”.

“Masa ?”, kataku.

“Ya. Seminggu yang lalu sudah datang lamarannya. Emak dan Bapak dan kerabat-kerabat yang lainnya sudah menerima baik lamaran itu”.

“Alangkah senang jadi pengantin !”, seruku riang.

“Alangkah senang. Tentu saja ! Nanti aku dibelikan pakaian bagus-bagus. Nanti aku didandani pakaian pengantin, dibungai, dibedaki,
disipati dan dicelaki. Alangkah senang ! Alangkah senang !”

Dan betullah. Pada suatu sore, datanglah emaknya menemui ibu. Waktu itu Inem dititipkan pada orangtuaku. Pekerjaannya tiap hari membantu masak di dapur dan menemani aku dan adik-adikku bermain.

Penghasilan emak si Inem ialah dari upah membatik. Perempuan-perempuan di kampung kami, apabila tak bekerja di sawah, membatiklah pekerjaannya. Ada yang membatik kain dan ada pula yang membatik ikat kepala.

Mereka yang miskin membatik ikat kepala, kerana ikat kepala lekas dapat diselesaikan, dan lekas pula orang mendapat upah. Dan penghasilan emak Inem ialah dari membatik ikat kepala itu.

Mori dan lilin diterimanya dari Toko Ijo, majikannya. Tiap dua lembar yang sudah dibatikinya, ia menerima upah satu setengah sen. Tiap hari rata-rata orang dapat menghasilkan delapan sampai sebelas lembar ikat kepala.

Bapak si Inem seorang pengadu jago. Tiap-tiap hari kerjanya hanya berjudi dengan pertarungan jagonya.

Kalau ia kalah, jagonya diambil oleh yang menang. Dan ia pun harus membayar seringgit atau paling sedikit tiga talen. Kalau tidak adu jago, ia main kartu dengan tetangga-tetangganya dengan wang pasangan satu sen.

Kadang-kadang bapak Inem tak pulang satu atau setengah bulan, mengembara dengan berjalan kaki. Bila sampai di rumah lagi, artinya ia ada membawa uwang.

Ibu pernah bilang padaku, bapak si Inem kerjanya yang terutama ialah membegal di tengah hutan jati antara kota kami Blora dan kota pesisir Rembang.

Waktu itu aku sedang duduk di kelas satu dan banyak mendengar cerita tentang pembegalan, perampokan, pencurian dan pembunuhan. Oleh cerita-cerita itu dan juga oleh cerita ibu, jadi takutlah aku pada bapak si Inem.

Semua orang tahu belaka, bapak si Inem jadi penjahat. Tapi tak seorang pun berani mengadukan pada  polisi. Dan tak seorang pun dapat membuktikan dia seorang penjahat. Karena itu ia tak pernah ditangkap oleh polisi.

Lagi pula saudara-saudara emak si Inem hampir semuanya jadi polisi. Malah ada yang jadi agen kelas satu. Dan bapak Inem sendiri pun pernah jadi polisi dan dipecat karena menerima suap.







Dan ibu pun tetap memegang kesopanan rumahtangganya.
Pramoedya Ananta Toer, Cerita dari Blora, Wira Karya, Kuala Lumpur (1994), hlm.30-40)



* paidon, tempolong tempat ludah sirih.
**dubang, ludah sirih yang berwarna merah.
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel