Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ngotot ingin menurunkan biaya interkoneksi dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit dengan pola simetris. Alasannya, penurunan dengan pola simetris ini akan mendorong pertumbuhan industri telekomunikasi nasional. Namun, ternyata beberapa pakar menilai langkah ini menyalahi aturan.
Kebijakan baru Kementerian Kominfo yang menurunkan tarif interkoneksi akan diberlakukan mulai 1 September 2016 ditolak Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Strategis. Hal ini disampaikan Ketua Umum Federasi Pekerja BUMN Strategis, Wisnu Adhi Wuryanto bersama Ketua Sekar Telkom.
Bahkan Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom, Asep Mulyana, mempridiksikan, kebijakan penurunan tarif interkoneksi itu akan menguntungkan operator asing. Sementara Telkomsel terancam kehilangan keuntungan yang signifikan karena harus mensubsidi cost interkoneksinya.
Kasus penjualan Indosat, dalam versi mini saat ini tengah terjadi di TELKOM dengan potensi kerugian Negara mencapai 50 T http://chirpstory.com/li/250772
Analisa keterkaitan Telkomsel dalam jaringan Kartel.
Sebagai perusahaan yang telah menjadi operator seluler nomor satu di Indonesia (berdasarkan standard penguasaan pangsa pasar dan jumlah pelanggan) Telkomsel telah tumbuh menjadi perusahaan telekomunikasi raksasa di Indonesia bahkan di Asia.
Di Indonesia dengan meraih jumlah pelanggan 100 juta pelanggan pada Mei 2011 dan menguasai 51% market share (pangsa pasar) tahun 2007, Telkomsel telah menjalin kerjasama dengan mitra operator di berbagai dunia. Disebutkan dalam berbagai informasi, Telkomsel berhasil membuka jaringan kerjasama dengan 155 negara.
Melihat reputasi dan keterkaitan pembagian saham Telkomsel dengan "saingannya" Indosat sebagaimana disebutkan di atas, apa yang ada dalam pikiran kita selain munculnya rasionalitas sebagai respon atas kejanggalan dan keanehan tersebut?
Untuk lebih jelasnya mari perhatikan beberapa catatan penting tentang jaringan "krodit" operator kelas wahid kita sebagai berikut :
Pembagian saham Telkomsel adalah : 65% oleh PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk ( atau disebut "Telkom") Indonesia dan 35% untuk Indosat, Tbk.
Dari 65% saham milik Telkom, Tbk ini dimiliki oleh Singtel (Singapore) sebesar 35%, artinya, saham yang murni dimiliki Telkom, Tbk hanya 30% saja, itu pun belum dikurangi saham milik publik yang juga tedapat dari pihak asing.
Indosat, Tbk sendiri dimiliki oleh jaringan multi taipan dari berbagai negara, dengan demikian tak mustahil Indosat, Tbk itu sahamnya dikuasai oleh para taipan dari bebrapa negara, antara lain : QTEL Asia sebesar 65% (milik konglomerat Qatar setelah dijual oleh STT Singapore ke Qatar), Skagen dari AS sebesar 5,57%.
Kemudian barulah Pemerintah RI (14,29%) dan publik (15,14%. Lihatlah kepemilikan saham kita (Pemerintah 14,29% dan publik 15,14%, jika keduanya dijumlahkan hanya 29,43% saja. Tidak sampai 35% seperti jumlah saham Telkomsel yang yang dimiliki Indosat, Tbk.
Sementara itu, PT Telekomunikasi Indonesia yang menguasai 65% saham Telkomsel, ternyata dimiliki oleh para taipan kaliber kakap asing, sebesar 45,58%. Sedangkan Pemerintah RI (BUMN PT Telkom, Tbk) sebesar 51,19%. Sisanya, 3,23% saja dimiliki oleh "anak negeri."
Siapakah taipan kaliber asing yang menguasai 45,58% saham PT Telkom, tbk? Ternyata pemiliknya paling dominan adalah lagi-lagi dari SingTel singapore.
Atas dasar data dan fakta di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan utama,
yaitu :
Industri telekomunikasi di tanah air TELAH dikuasai oleh pihak Asing.
Adanya persekongkolan dalam industri telekomunikasi kita dalam jaringan Kartel Telekomunikasi.
Ternyata pemiliknya yang "itu-itu saja" alias dia-dia juga.
Telkomsel memainkan peranan penting dalam Kartel tersebut.
Telkomsel terindikasi menjadi "Sapi Perah" untuk tujuan komersil dan Politik negara asing
Pemerintah tidak berdaya mengatur deregulasi bidang telekomunikasi yang menguntungkan kepentingan bangsa (pengguna) dan negara karena berhadapan dengan jaringan mafia komunikasi asing.
Telkomsel dan beberapa operator lainnya, telah menjelma menjadi kendaraan strategis yang dipergunakan oleh para taipan asing untuk meraup keuntungan optimal dari Indonesia. Idea dan inovasi apapun dilakukan atas nama profesionalisme dan layanan prima, padahal di dalamnya Telkomsel telah menjadi "sapi perah" untuk kepentingan politik dan komersial para Taipan.
Kepentingan politik terhadap Telkomsel adalah, operator seluler ini digunakan untuk meraup keuntungan bagi kepentingan negara asing dan berkaitan dengan bargaining pada bidang yang sama dalam kepemilikan di PT Telekom, PT Indosat, PT.Indosat, PT.Excelcomindo, PT.Natrindo (Lippo Telecom), PT.Cyber Access, PT. Mandara Seluler dan Twinwood Ventura. Semua perusahaan seluler itu dimiliki oleh taipan kaliber dunia terutama dari Singapore dan Malaysia.
Menggoyang Telkomsel dari cengkeraman Taipan asing sama halnya menganggu stabilitas di beberapa perusahaan operator seluler lainnya. Lihatlah bagaimana mereka menguasai saham-saham perusahaan operator seluler kita, sebagai berikut :
- PT.Telkomsel 35% sahamnya dipegang oleh SingTel anak perusahaan Temasek Singapore.
- PT.Natrindo (Lippo Telecom) 95% sahamnya dikuasai Maxis Communication, PT.Cyber Access 60% sahamnya dikuasai Huctchinsons Telecom Hongkong.
- PT.Mandara Seluler, 24,7 % sahamnya dikuasai Polaris Mobile. Juga tercatat Twinwood Ventura dari Sampoerna Group menguasai 58% saham PT.Mandara Seluler.
- PT.Excelcomindo 66,98% sahamnya dikuasai Telekom Malaysia.
- PT.Indosat 41,94 % sahamnya (sebelum dijual oleh STT ke QTEL ASIA) dikuasai ST Telemedia (STT) anak perusahaan Temasek Singapore,
Jadi apapun kondisi dan situasinya, para Taipan yang tergabung dalam Kartel tersebut tidak akan memberi ruang gerak dan kesempatan kita untuk mengatur strategi melepaskan Telkomsel dari jeratannya.
Permainan maut Telkomsel pencabut Nyawa Pulsa
Oleh karena itu tak heran, apapun dilakukan untuk meraup keuntngan optimal termasuk metode-metode dan skema pembodohan pelanggan melalui iklan dan lebih parah lagi adalah melalui pesan SMS yang menjebak dan menipu membuat kita geleng-geleng kepala karena diperlakukan seolah-olah tidak mengerti sama sekali sedang dalam jebakan maut mereka.
Lihatlah apa yang sedang santer dan heboh dibicarakan saat ini. Lihatlah betapa vulgarnya Telkomsel mengirim SMS mulai betema "Mama Minta Pulsa" hingga "Hadiah Gratis Untuk Anda dengan menjawab 5 Pertanyaan berturut-turut." Belum lagi aneka jebakan maut menyedot "nyawa" pulsa pelanggan melalui konten murahan yang disewa oleh beberapa provider di Telkomsel.
Soal keuntungan dari permainan maut itu tidak tanggung-tanggung. Bayangkan saja sekali pesan itu Anda terima maka Anda akan dikirim SMS berbahaya beberapa kali yang berujung pada habisnya "nyawa" pulsa Anda akibat disedot sebesar Rp.2000,- per SMS haram tersebut.
Apa tanggapan anaka-anak, ibu-ibu atau pelanggan di kota dan pedesaan yang masih kurang memiliki wawasan obyektifitas saat menerima pesan Telkomsel yang menawan tersebut? Mereka menekan tombol yes (setuju atau mengikuti petunjuk atau perintahnya. Lalu tekan Yes, tanda setuju), akibatnya fatal, pulsa mereka tersedot dengan cepat. Tragisnya bukan hadiah yang di dapat malah minta uang lagi untuk mengisi pulsa yang terbuang percuma dan sia-sia.
Percuma dan sia-sia bagi kita, tapi menarik untuk Telkomsel. Lihat saja, berapa orang yang mampu terkoceh setiap hari? Katakan dari total 100 juta pelangganTelkomsel, hanya 5% saja yang terjebak setiap hari, atau katakanlah hanya 5% pelanggan Telkomsel yang terjebak dalam satu bulan terakhir, artinya ada sekitar 5 juta pelanggan yang memberikan pulsanya kepada Telkomsel.
Dari 5 juta pelanggan tersebut, mereka terjebak permainan sebanyak 5 kali saja (karena menjawab 5 kali pertanyaan) dengan baya per SMS katakanlah Rp.1000,- per SMS. Artinya ada sebanyak 5 juta pelanggan yang dirampok oleh Telkomsel sebesar Rp.5000.- per orang. Jika ditotal jumlahnya mencengangkan, yaitu mencapai Rp.25 miliar. Berapa lamakah sudah permainan itu dijalankan oleh Telkomsel? Apakah tidak menarik ?
Penulis : Faisal Machmud al-Rasyid
Wilayah Udara / Frekuensi Indonesia dimiliki Singapura.
Segala data komunikasi, internet, perbankan, dsb dikuasai Singapura. Artinya Singapura dapat mengetahuinya tanpa capek2 menyadap lagi.