Singapura negara pulau yang berani  mempecundangi Indonesia

Singapura negara pulau yang berani mempecundangi Indonesia

Upaya menarik uang orang-orang kaya Indonesia dari Singapura sama saja menyuruh Singapura “angkat tangan”. Jawabannya sudah pasti tak mungkin


Jika merujuk pada bukunya Leo Suryadinata yang berjudul "Overseas Chinese in Southeast Asia and China's Foreign Policy", disitu jelas disebutkan jika jaringan China perantauan/peranakan di seluruh dunia memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan luar negeri RRC yang digawangi oleh PKC (Partai Komunis China)

Kita ambil contoh yang jadul saja, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dua regulasi pada tahun 1959 dan 1960, pertama PP. No 10 1959 yang melarang etnis Tionghoa melakukan bisnis retail di wilayah pedesaan. Soekarno mengkhawatirkan jika orang Tionghoa menguasai bisnis retail di pedesaan, dengan kekuatan sumber daya mereka, maka orang-orang desa akan kehilangan kesempatan berusaha dalam bidang yang sama.

Kebijakan ini memancing intervensi Peking/Beijing. Mereka menuduh NKRI melanggar perjanjian Dua Kewarganegaraan yang ditanda tangani pada 1955, dimana Jakarta setuju untuk melindungi hak dan kepentingan orang Tionghoa. Tetapi Soekarno menolak tunduk, dia tetap beralasan bahwa sangat besar potensi ketidakadilan dalam berusaha akan terjadi jika orang Tionghoa masuk ke bisnis-bisnis retail di Indonesia.

Contoh lainnya adalah pelarian kekayaan yang dilakukan "konglomerat hitam" pada saat krisis ekonomi 1997-1998 ikut memperparah perekonomian nasional. Pelarian itu diperkirakan ke Singapura, Singapura adalah pusat jaringan dari China Peranakan di dunia. Liem Sioe Liong yang sempat menjadi ketua jaringan China perantauan pun ketika mati dikremasi di Singapura.

Jadi jangan mimpi Singapura akan head to head dengan RRC jika lCS memanas

Apakah yang membuat Singapura “berkuasa” terhadap Indonesia ?

Meski miskin sumber daya alam, Singapura melalui tangan Lee Kuan Yew berhasil membangun negaranya dengan keunggulan sumber daya manusia dan inovasi. Hal ini membuat Singapura berhasil sebagai pusat atau hub barang, jasa, dan modal di Asia Tenggara. Singapura pun mencengkeramkan modal ke negara-negara tetangga, tak terkecuali Indonesia.

“Singapura percaya sesuatu yang paling penting adalah apa yang bisa menguntungkan mereka,” sindir Mahathir.

Media New York Times sempat menulis bagaimana hubungan Singapura dengan para tetangganya seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Singapura dan Thailand sempat tegang soal pembelian perusahaan telekomunikasi milik mantan PM Thaksin hingga pembelian bank-bank Thailand oleh Singapura saat krisis 1997.

Dengan Indonesia, Singapura banyak menuai ketegangan mulai dari pasir reklamasi hingga yang terakhir soal “melawan” tax amnesty. Negara dengan bendera berlambang bulan dan lima bintang ini kerap kali keras bersikap.

Indonesia mencoba beberapa kali menekan Singapura terkait perjanjian ekstradisi para koruptor yang bersembunyi di Negeri Singa tersebut. Penghentian ekspor pasir laut, penghentian perjanjian soal Military Training in Areas (MTA), sempat akan dibarter dengan Singapura asal mereka melunak.

Namun, jangan harap terjadi. Masalah uang dan modal adalah jantungnya Singapura. Saat Menteri Luar Negeri Singapura masih dipegang oleh George Yeo, sikap Singapura jelas sangat tegas.

“Dari waktu ke waktu, beberapa negara menekan Singapura dengan harapan akan memenuhi permintaan mereka. Singapura tahu itu, jika kita memberikannya, sama saja kita akan mengundang tekanan berikutnya,” kata Yeo dikutip dari nytimes.com.

Publik juga masih ingat soal sikap berani Singapura yang mencampuri pemberian nama kapal perang TNI AL, Usman Harun beberapa waktu lalu. Kebakaran hutan dan asap juga sempat memunculkan arogansi si tetangga.

Mereka membuat Undang-undang Polusi Asap Lintas Batas (UU PALB) yang disahkan Parlemen Singapura atau Singapore Transboundary Haze Pollution Act No 24/2014 (STHPA). UU ini jadi payung hukum untuk menggugat perusahaan pembakar hutan yang di Indonesia, seolah mengangkangi kedaulatan hukum tuan rumah.

Semua persoalan itu menjadi duri dalam hubungan bertetangga, dan Indonesia tak bisa berbuat banyak. Ini sama halnya dalam kasus zona Flight Information Region (FIR) di kawasan Natuna dan sekitarnya yang sejak 1946 diserahkan kepada Singapura sesuai mandat ICAO.

Selama berpuluh tahun, pengendalian lalu lintas udara atau ATC di bagian wilayah Indonesia ini ada di ujung jari Singapura. Lucunya, hingga 71 tahun Indonesia merdeka, masalah FIR ini belum ada titik jelas kapan waktu untuk “merebutnya”.

Fakta-fakta tadi menunjukkan bahwa Singapura sebagai negara mungil punya posisi tawar yang kuat dalam menghadapi Indonesia. Perilaku demikian seolah menggambarkan seorang yang sedang memegang kartu truf lawannya.


Bersambung...

Upaya menarik uang orang-orang kaya Indonesia dari Singapura sama saja menyuruh Singapura “angkat tangan”. Jawabannya sudah pasti tak mungkin, tak mungkin, dan tak mungkin.
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda