CAVEAT
Kosakata ini popular ketika mantan Menlu di zaman Ronald Reagan, Alexander M. Haig Jr., menulis memoirnya dengan judul yang sama. Mantan komandan pasukan NATO di Eropa berpangkat jenderal bintang-4 ini memang tentara tulen yang tidak begitu suka dengan ‘bureaucratic politics’.
Di buku itu dia menuliskan apa yang dialaminya dalam proses pengambilan keputusan menyangkut kepentingan strategis Amerika Serikat.
Meskipun ada wakil presiden dan line of command di bawah wapres nya jika presiden berhalangan, ketika Presiden Ronald Reagan ditembak dan dilarikan ke rumah sakit, Menlu Alexander Haig, seorang yang tidak diragukan patriotismenya mengatakan kepada wartawan: “I am in control here!”
Caveat berarti ‘warning’ atas sesuatu yang akan terjadi. Ketika jargon-jargon Nazi digunakan oleh kelompok ekstrem kanan Islamophobic di Jerman, media menyerukan caveat. Di negeri Mercedez Benz ini, glorifikasi Nazi adalah pidana (crime).
Kosakata Hitler kini berhamburan mencemaskan Jerman. Luegenpresse (lying press), volksverraeter (traitors), voelkisch (ethnics), umvolkung (pengusiran minoritas) da berbagai kata yang penuh ‘beban politis’ dengan ide yang berbahaya ini mencuat kembali.
Semua berkat alam kebebasan globalisasi dan ide-ide yang muncul dari Jerman Timur yang dulu komunis dan merasa kurang beruntung dibandingkan dengan nasib para pendatang (imigran).
Caveat juga tepat untuk melihat Indonesia kini, di ‘alam kebebasan’ dan kita telah melihat tidak saja simbol-simbol komunisme, tetapi juga kosakata bahkan perilaku warisan dari PKI. Di negeri kita, PKI sebagai alat politik, ide komunisme dan glorifikasi secara hukum positif terlarang dan pidana
Di tengah media mainstream yang ‘telah tergadai’ tidak ada yang mengeluarkan ‘caveat’ apa yang akan terjadi ke depan.
Di zaman sebelum G30S/PKI penganut agama (Islam) dihina, guru agama, ustadz, dan ulama dihina, diuber-uber dan bahkan terjadi pembunuhan massal di Pulau Jawa, di pesantren dan terhadap ulama. Politik adu-domba sesama anak negeri pun kian marak.
Kini orang dengan bangga ‘membela’ munculnya lambang-lambang komunisme, bangga ketika ustadz dan ulama bahkan MUI mengalami ‘verbal harassment’ di depan publik atau TV dan masyarakatpun terbelah.
Institusi dan tokoh-tokoh Islam lebih dulu "dipreteli' ororitasnya oleh komunis PKI sebelum beraksi dalam peristiwa G39S/PKI. Orangpun bangga ‘menjadi komunis’, suka dengan kata-kata ‘revolusi’ dan gampang terpengaruh dengan politik pecah-belah, terutama di kalangan umat Islam. Tujuan menghalalkan cara, itu juga jargon komunis.
Entry word-nya 'justice'. Saya setuju 'justice prevails' dan ketidakadilan di masa lampau perlu penyembuhan. Jika 'sense of justice' kemudian dikembangkan menjadi pembenaran untuk lahirnya kembali penghianat bangsa, saya menolak keras.
Pemerintahpun tiada sungkan untuk ‘bersahabat’ dengan the only powerful communist regime in the world: China, dengan berbagai implikasi ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya, bahkan keamanan negara, yang merugikan bangsa ini. Kitapun lupa dengan sejarah, lupa dengan politik luar negeri bebas dan aktif, meski terbukti menyelamatkan negeri ini dari kehancuran dan bingung terombang-ambing.
Kalau Alexander M. Haig Jr. seorang diri mengingatkan bahaya nuklir komunis Soviet di Eropa, kini saatnya kita semua yang mencintai Republik ini mengingatkan diri kita masa lampau yang kelam bahwa pemberontakan komunis yang berdarah-darah itu tak perlu terulang kembali.
Kesulitan ekonomi di tengah memburuknya indikator ekonomi makro kita sekarang bisa saja diprakondisikan dalam 'proxy war' dengan dukungan hianat di dalam negeri untuk keresahan dan gejolak sosial.
Jangan biarkan negeri ini dilanda huru-hara karena ‘negara’ dan tokoh-tokoh elitnya tidak lagi mengeluarkan ‘caveat’. Waspadalah !
Dalam seminar dwi kewarganegaraan di Univ. Jayabaya, saya ungkapkan kekhawatiran saya, adanya troyan horse bermuatan penumpang gelap dalam upaya amandemen UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan. UU ini relatif baru dan telah memuat semua klausul sebagai UU yang progesif, terbuka, persamaan hak semua kawula, perlindungan wanita dan anak dalam konteks HAM. Upaya amandemen ini berkaitan dengan tuntutan para diaspora untuk pengakuan asas 'kewarganegaraan ganda'.
Dalam wawancara dengan TV One saya tegaskan lagi poin ini, terutama untuk mencegah ide amandemen dari 'tumpangan gelap' kepentingan pihak luar, yang sayangnya tidak disadari 'atau pura-pura tidak tahu' bahwa apabila diadopsi dan diberlakukan secara universal maka siap-siaplah negeri kita dihancurkan pihak luar {baca RRC}
Jakarta, 14 Oktober 2016 (Haz Pohan)