Jokowi mengorbankan Anis Baswedan, SBY mengorbankan Agus Harimurti

Jokowi mengorbankan Anis Baswedan, SBY mengorbankan Agus Harimurti

Jakarta terlalu strategis untuk dilepas. Jokowi sangat paham tipikal pemilih dan pragmatism partai-partai politik di Indonesia


Gerindra dan PKS akhirnya mengumumkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai cagub dan cawagub DKI Jakarta. Dalam sambutannya, Anies menyebut kesiapannya untuk menjadikan Jakarta lebih baik.

Menurut Anies, Jakarta bukan sekadar kota, namun tempat tinggal bagi jutaan manusia Indonesia yang berikhtiar untuk mendapatkan apa yang dijanjikan oleh kemerdekaan, yaitu dilindungi dan dicerdaskan. (detik)

Benarkah ?

Kalkulasi dan strategi politik Presiden Joko Widodo nyaris sempurna andai tidak muncul sosok Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017. Jika pilgub DKI hanya mempertemukan petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan Anies Baswedan, maka siapa pun pemenangnya, tetap “orang istana”.

Namun Susilo Bambang Yudhoyono bukan politisi kemarin sore. Ketua Umum Partai Demokrat itu berani “mengorbankan” karir militer AHY untuk melakukan counter attack yang mematikan. Reshuffle Kabinet Kerja Jilid II beberapa waktu lalu masih menyisakan sejumlah tanda tanya, terutama terkait pencopotan Menteri Pendidikan Anies Baswedan. Publik tentu belum lupa peran yang dimainkan Anies Baswedan selama proses pemilihan presiden 2014 lalu. Sebagai juru bicara kubu Jokowi-JK.

Anies Baswedan tampil all out. Bukan hanya memoles citra Jokowi-JK, Anies Baswedan pun tidak segan-segan menyerang sehingga sempat beberapa kali bersitegang dengan kubu lawan. Salah satu serangannya yang paling dikenang adalah tuduhan Prabowo Subianto, yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, dibeking mafia.

Ternyata Jokowi hanya menghargai jasa Anies Baswedan dengan kursi menteri selama 20 bulan. Tentu hanya Presiden Jokowi yang tahu persis alasan pencopotannya. Tetapi ada yang berpendapat Anies Baswedan dicopot karena tidak memprioritaskan visi misi Presiden Jokowi terutama terkait pembagian Kartu Indonesia Pintar (KIP).


Anies Baswedan dinilai memiliki visi-misi sendiri sehingga menghambat program Nawa Cita. Hanya saja alasan tersebut cenderung dipaksakanmengingat Anies Baswedan termasuk tim inti yang merumuskan beberapa program unggulan yang diusung Jokowi-JK selama kampanye- termasuk saat debat kandidat, di mana salah satunya adalah KIP.

Anies Baswedan juga sudah membantah jika pencopotan dirinya terkait kinerja, apalagi perbedaan visi-misi dengan Presiden seperti bisa dibaca di sini Spekulasi kemudian berkembang ke pilgub DKI.

Panasnya pilgub DKI sudah terasa jauh sebelum muncul kandidat sebenarnya. Kekuatan politik pun terpolarisasi dalam dua kubu antara yang pro dan kontra Ahok. Penolakan terhadap Ahok yang saat itu sangat yakin akan maju melalui jalur independen, juga disuarakan oleh PDI Perjuangan. sebagai mentor sekaligus pendukung setia, Jokowi melihat lampu alarm itu.

Jika seluruh partai berkumpul untuk melawan Ahok, bisa-bisa Jakarta akan jatuh ke tangan lawan politiknya. Jokowi tidak mau hal itu terjadi. Secara terbuka Jokowi kemudian turun langsung mendamaikan Ahok dengan PDI Perjuangan (baca: Megawati Soekarnoputri) sehingga sempat mendapat kritik sejumlah pihak karena dianggap tidak netral Presiden. Namun Jokowi show must go on.

Jakarta terlalu strategis untuk dilepas. Pada saat bersamaan, diam-diam Jokowi melakukan langkah kedua yakni dengan “mengorbankan” Anies Baswedan. Jokowi sangat paham tipikal pemilih dan pragmatism partai-partai politik di Indonesia. Salah satu kelemahan paling mendasar yang terjadi di tubuh partai politik yang ada saat ini adalah minimnya kaderisasi calon pemimpin.

Padahal itu adalah tugas utama partai. Tidak heran jika dalam banyak gelaran pilkada, partai politik justru mengusung calon non kader. Jokowi sudah berhitung, jika Anies Baswedan “dianiaya” pasti akan mendapat simpatik rakyat sehingga kemudian ada partai yang akan meliriknya.

Tentu untuk mencapai tujuannya, dilakukan sejumlah manuver politik dan silent operation. Adanya silent operation ini dapat dilihat dari gencarnya pemberitaan terhadap Anies Baswedan dengan disertai bumbu-bumbunya sehingga terbentuk opini jika Jokowi salah mengambil keputusan. Anies Baswedan pun muncul sebagai tokoh “teraniaya”.


Bisa ditebak, musuh-musuh politik Jokowi pun terpincut. Bahkan Prabowo yang pernah “dinistakan” pun mau memaafkan. Perahu besar Gerindra yang banyak diincar kandidat lain, terutama Yusril Ihza Mahendra, dilepas untuk Anies Baswedan. PKS yang tidak memiliki teman koalisi, setelah SBY tidak merespon sinyal yang dikirim, akhirnya ikut mendukung meski tidak mendapat apa-apa. Sesuatu yang- meminjam istilah anak muda sekarang, bukan PKS banget.

Megawati yang tidak ingin Jakarta dikuasai kelompok non nasionalis, berbalik arah setelah Ahok mau menandatangai kontrak politik yang disodorkan PDI Perjuangan. Dengan senyum khasnya, Megawati pun mengenakan jaket kebesaran PDIP dan (belakangan) mengajak Ahok berziarah ke makam ayahandanya di Blitar sebagai “pengesahan” dirinya telah menjadi bagian keluarga besar PDI Perjuangan. Hari ini kita melihat Ahok- “Si Politikus Bengal” itu, telah luluh di tangan Megawati.

Apakah itu hanya fragmen, waktu yang akan membuktikan. Di istana, Presiden Jokowi dapat tersenyum melihat konstelasi politik Jakarta yang sudah mereda dan hasilnya sesuai skenario yang diciptakan. Politik nokang alias kanan-kiri oke, ala Jokowi nyaris sempurna andai tidak ada SBY! Di luar perkiraan, SBY melakukan manuver “tidak lazim”. SBY melakukan sesuatu yang mengingkari pesan yang ia sampaikan kepada para taruna dan perwira TNI/Polri beberapa tahun lalu saat masih menjabat sebagai Presiden RI.

Saat itu SBY mengatakan tidak tepat bagi taruna dan perwira TNI/Polri bercita-cita menjadi kepala daerah. Namun SBY justru memupus karir militer AHY yang tengah moncer. Padahal tahun depan pangkat AHY naik menjadi letnan kolonel sehingga hanya tinggal butuh waktu 6-8 tahun lagi untuk meraih pangkat jenderal.

Jika AHY bisa meraih pangkat jenderal di bawah usia 50 tahun, maka jabatan-jabatan strategis seperti Kepala Staf Angkatan Darat, bahkan Panglima TNI, sudah ada dalam jangkauannya. Apa yang sebenarnya menjadi dasar keputusan SBY mengakhiri karir militer anaknya? Pertama tentu peta politik saat ini yang sangat tidak menguntungkan Partai Demokrat.

Citra yang sudah terpuruk sejak mencuatnya berbagai skandal korupsi yang melibatkan para petinggi partai, dari ketua umum hingga bendahara dan kadernya di DPR, hanya mungkin bisa ditegakkan kembali jika ada tokoh baru yang mampu menutup “dosa-dosa” tersebut. Stok kader yang ada saat ini, tidak memiliki pengaruh- apalagi elektabilitas, mumpuni untuk level nasional. SBY juga tidak bisa berharap banyak pada Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas.

Meski telah matang secara politik, dan pernah menajdi sekjen partai, namun Ibas gagal memenuhi ekspektasi SBY. Popularitas Ibas justru berkelindan dengan “dosa” partai. Nama Ibas terus diseret dalam skandal mega korupsi yang melibatkan mantan ketua umum Anas Urbaningrum dan mantan bendahara Nazaruddin. Meski peradilan tidak pernah menyentuhnya, namun sebagain besar masyarakat telah memberikan “putusan” jika dirinya “ada” dalam skandal itu. SBY pun lantas melirik putra pertamanya. AHY dinilai bersih dan terbebas dari “virus mematikan” yang ditabur para dedengkot partai.

Kecemerlangan karir dan pendidikannya, menjadikan AHY sebagai sosok “di luar” kubangan hitam Partai Demoktrat. Lawan-lawan politiknya tidak bisa menembak AHY dengan negative campaign. Jika pun dipaksakan terhadap kasus korupsi mertuanya- Aulia Pohan yang terseret kasus korupsi di tubuh Bank Indonesia, AHY justru akan mendapat feedback positif.

Bukankah Aulia Pohan simbol perlawanan SBY terhadap korupsi sehingga dirinya tidak melakukan intervensi untuk menggagalkan upaya KPK menjebloskan besannya ke penjara? Kisah Ketua KPK (saat itu) Antasari Azhar selanjutnya yang dianggap menjadi korban “balas dendam” sangat sumir sehingga tidak bisa dijadikan referensi untuk memukul balik SBY. Awalnya, publik skeptis bahkan sinis terhadap keputusan Koalisi Cikeas yang mengusung AHY-Sylviana Murni.

Tetapi fakta menunjukkan feeling politik SBY tidak salah. Terbukti dari beberapa survei elektabilitas AHY melonjak dratis. Bahkan elektabilitas AHY paling tinggi untuk pemilih pemula seperti diberitakan kompas.com Padahal AHY belum melakukan pendekatan langsung kepada masyarakat.

Beberapa even yang dipakai AHY untuk “berkenalan” dengan warga Jakarta, juga belum maksimal. Namun namanya sudah menggema di lorong-lorong sempit, wilayah kumuh, dan daerah pinggiran lainnya yang “dijauhi” Ahok dan terlalu elit untuk “dipijak” Anies Baswedan. Nama AHY juga bergema di kalangan terpelajar dan intelektual karena sosoknya yang smart.

Satu lagi, meski bukan faktor utama, tampang AHY diprediksi akan mampu menghipnotis pemilih perempuan seperti halnya SBY. Hari penentuan siapa yang akan memimpin Jakarta untuk lima tahun mendatang masih menyisakan waktu sekitar 3 bulan. Tiga pasangan yang telah mendaftar di KPUD Jakarta, memiliki kans yang sama untuk meraih suara warga Jakarta. Tetapi, tidur Presiden Jokowi tidak akan senyenyak manakala calonnya hanya Ahok dan Anies Baswedan. (dr)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda