Mungkinkah Nusantara akan berubah menjadi negara kecil-kecil ?

Mungkinkah Nusantara akan berubah menjadi negara kecil-kecil ?

Balkanisasi Indonesia, Nusantara akan berubah menjadi negara kecil-kecil, serta statusnya disamakan dengan negara kepulauan (polenesia) di Samudera Pasifik semacam Vanuatu, Solomon Island


Balkanisasi Indonesia? Mungkin topik ini menarik untuk diulas mengingat isu ‘Clinton Program 1998’-nya Amerika (AS) guna memporak-porandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) meski sayup-sayup, namun terdengar. Betapa republik ini akan dipecah belah sebagaimana nasib negeri-negeri di Kawasan Balkan dulu.

Nusantara akan berubah menjadi negara kecil-kecil, serta statusnya hendak disamakan dengan negara kepulauan (polenesia) di Samudera Pasifik semacam Vanuatu, Solomon Island, Selandia Baru, Hawaii, Fiji, Atol Midway, Samoa, Tuvalu, dll. Entah benar, atau cuma rumor belaka, namun pada dekade terakhir ini, isue tersebut telah menjadi bagian masalah yang mutlak harus dicermati di Bumi Pertiwi.

Sejarah :


Keinginan negara-negara Barat untuk menjadikan Samoa berada di bawah pengaruhnya sedikit banyak terbantu oleh konflik yang menimpa sesama penduduk pribumi Samoa. Agar bisa memenangkan konflik yang umumnya bermotifkan perebutan tahta atau kekuasaan, pihak-pihak yang bertikai kerap meminta bantuan negara-negara Barat.

Tahun 1877 contohnya, terjadi perang sipil di mana pemerintah berkuasa Samoa meminta bantuan kepada pihak Inggris, sementara pihak pemberontaknya mendapat bantuan dari AS.


Samoa menjadi target perebutan dari negara-negara Barat karena lokasinya yang ideal untuk menjadi tempat pengisian bahan bakar bagi kapal-kapal laut di Pasifik yang pada masa itu masih menggunakan batubara.

Sebagai upaya untuk meningkatkan hubungan dengan penduduk asli Samoa menancapkan pengaruhnya di kawasan tersebut, pada tahun 1847 Inggris mendirikan kantor konsuler di Apia, Pulau Upolu, Samoa bagian tengah. Enam tahun kemudian, giliran AS mendirikan kantor konsuler di Apia.

Seolah tidak ingin ketinggalan, pada tahun 1861 Jerman juga ikut mendirikan kantor konsuler di Apia. Jerman dalam perkembangannya berhasil memperkuat kedudukannya di Samoa setelah pada tahun 1879, Samoa memberikan izin kepada Jerman untuk mendirikan pelabuhan militer di Saluafata.

Kembali ke topik :

Tulisan sederhana dan tak ilmiah ini, tidak lagi menyoal apakah Clinton Program itu ada, nyata atau tidak, “Tak akan ada asap tanpa api”. Mimpi itu ada walau tidak nyata, namun toh kerap berperan dalam kehidupan seseorang. Kentut pun hampir sama, meski tak terlihat tetapi ada dan nyata, terutama ‘berperan’ (menjadi masalah) bagi orang-orang yang menciumnya.

Berbasis analogi di muka, catatan ini coba menguak topik isue di atas melalui beberapa tanda atau indikator. Manakala tanda-tanda orang bermimpi itu bicara sendiri (nglindur), melakukan gerak sewaktu tidur, dsb atau tatkala indikasi orang kentut nampak dari mimik, gerak-gerik tubuh, dll maka dari perspektif inilah kita hendak membuka tabir dimaksud. Sederhana.


Mari cermati perilaku geopolitik asing di NKRI yang indikasinya berujung pada skema “Balkanisasi Indonesia”.

Usai PD II, geliat geopolitik Eropa dan Amerika (AS) terkesan stabil kecuali Inggris yang masih digaduhkan oleh separatis Irlandia Utara (IRA). Kelompok kolonial seperti Belanda, Prancis, AS, Portugis, Sanyol, Inggris, dan lain-lain cenderung diam meskipun secara (silent) sistematis tetap melakukan kendali di bekas negara-negara koloni khususnya kontrol terhadap ekonomi dan politik.

Indikatornya tercermin dengan aneka ‘penyatuan negara’ dalam bentuk kerjasama baik ekonomi, politik, maupun pakta pertahanan seperti Five Power Defence Agreement (FPDA), ANZUS, Commonwealth, dan sebagainya.

Melambung sebentar ke depan. Barangkali kegaduhan paling aktual ialah gerakan Occupy Hongkong yang kini terjadi di wilayah ex koloni Inggris tersebut. Momen tersebut dapat diterka (diduga) merupakan implementasi British Geopolitic (BG), dimana pola  perilakunya mencaplok terlebih dulu simpul-simpul transportasi, sebelum akhirnya (menjajah) ke sektor-sektor lain.

Ada apa sich di Hongkong (HK)? Dari aspek sumberdaya alam (SDA), HK tidak sedahsyat Xinjiang bahkan tergolong miskin SDA. Namun hebatnya, ia memiliki pelabuhan besar di tepi jalur (perairan) internasional yakni pelabuhan laut (seaport) serta bandara udara (airport) bertaraf internasional.

Bahkan seaport HK merupakan 10 pelabuhan tersibuk di dunia, demikian juga airport-nya menjadi pusat transit penting di dunia karena letaknya yang strategis. Itulah sumberdaya HK yang justru menggiurkan bagi negara imperialis seperti Inggris, AS, dan lain-lain.  


Tak putusnya konflik-konflik dan / atau kudeta di negara bekas koloni Barat bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri tanpa dalang dan pemilik hajatan meremot dari kejauhan. Di setiap pagelaran niscaya ada wayang, dalang dan pemilik hajatan.

Gerakan wayang tergantung dalang, geliat si dalang niscaya merujuk hasrat si penanggap atau pemilik hajatan. “Pak Dalang, saya ingin lakonnya wayang mbeling!”. Itulah pakem nusantara yang telah menjadi pakem (norma) dalam pagelaran politik global.

Sebagaimana diulas pada prolog tulisan ini, meski cenderung silent bahwa kelompok negara kolonial tetap melakukan kontrol terhadap negara-negara bekas jajahannya. Menjadi circumstance evidence (bukti keadaan) bahkan patern evidence (bukti pola) manakala pelaku kudeta ataupun tokoh-tokoh konflik justru para perwira militer, ataupun kaum intelektual lulusan Barat.

Hal ini yang menarik dicermati. Pertanyaan hipotesa, “Inikah modus pemilik hajatan atau sang donatur menagih janji serta meminta bukti loyalitas atas “bantuan”-nya selama ini terhadap si wayang atau dalang; atau jangan-jangan malah mereka disuruh menerapkan disertasi (teori)-nya?”


Yang diincar oleh asing (pemilik hajatan) tak lain adalah SDA negeri dimaksud, meski isue yang diusung oleh komprador (wayang/dan dalang) melalui blow up media massa berkisar soal demokrasi, HAM, korupsi, pluralisme, intolerans, kepemimpinan tirani, freedom, dan lain-lain. The way thing are done around here. Itulah perilaku (geopolitik) kolonialisme.

Sedang kelompok negara komunis masih dalam pasca PD II seperti Yugoslavia, Jerman Timur, Chekoslovakia, Rumania, Polandia, dll cenderung mengutamakan konsolidasi ke dalam dengan ujud menjaga stabilitas internal, menguatkan sentralisasi, indoktrinasi ideologi, dll kecuali Cina dan Uni Soviet terlihat ekspansif, bahkan Cina kian agresif di panggung politik global hingga kini.

Namun dalam pola intervensif, Paman Sam terlihat licik karena kerapkali mengganggu stabilitas negara yang ditarget berdalih membendung komunisme, atau menyebar intoleransi, isue demokrasi, HAM, dan lainnya dengan menumpang pada sisi pluralitas (keberagaman suku dan agama) sebagai sumbu letus.

Tetapi anehnya, justru agenda asing tersebut seperti tak disadari  atau pura-pura tidak disadari oleh elit dan elemen bangsa-bangsa dimaksud. Entah kecanggihan penerapan skenario, atau karena cantiknya permainan para komprador di internal negeri, dan lainnya.

Sudah tentu, sebagai konsekuensi logis atas perilaku geopolitik tadi, mutlak mereka harus menjalin berbagai proxy (perpanjangan tangan) dalam rangka menerapkan visi dan misi, atau diciptakan “boneka” bagi kepentingannya di negeri target melalui sosok fenomenal, lembaga swadaya (LSM), capacity building, pembiayaan program kegiatan, gelontoran hibah, dll no free lunch kepada LSM, individu, organisasi massa bahkan tak ada makan siang gratis bagi pemerintahan di negara-negara target. Sekali lagi, no free lunch atas segala hibah, bantuan (dan utang) di suatu negara.

Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute  (bersambung)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda