Pertaruhan di laut Cina Selatan sebagai jalur perairan strategis Dunia

Pertaruhan di laut Cina Selatan sebagai jalur perairan strategis Dunia

Jika pembangunan infrastruktur, sistem keamanan laut, dll diserahkan kepada asing. Kapal-kapal kita akan menjadi tamu di negeri sendiri. Kapan boleh merapat atau tidak, tergantung si pemegang sistem.


Tak pelak lagi, di tengah perekonomian Cina yang semakin digdaya saat ini, Laut Cina Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina.

Apalagi Cina menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di dunia melewati perairan Laut Cina Selatan. Maka itu tak heran jika Cina saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly (Nansha) dan Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Cina Timur, Cina bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku(yang di Cina dikenal sebagai Diaoyutai).

Sengketa perbatasan Cina dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Cina dan Amerika Serikat dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat fakta bahwa saat ini Vietnam secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei.

Sebuah editorial koran Cina Global Times edisi 21 Juni 2011 kiranya perlu disimak secara seksama:

“Vietnam telah melakukan tindakan beresiko di Laut Cina Selatan untuk sekian lama. Mereka telah menduduki 29 pulau Cina. Mereka telah mendapatkan manfaat terbanyak dari eksploitasi gas alam dan minyak bawah laut. Mereka juga yang paling agresif menghadapi Cina.

Cina telah mengirimkan pesan yang jelas bahwa kami akan mengambil tindakan apapun yang diperlukan untuk melindungi kepentingan-kepentingan kami di Laut Cina Selatan.

Jika Vietnam terus memprovokasi Cina di wilayah ini, Cina pertama akan menghadapinya dengan kekuatan polisi laut, dan jika perlu, menyerang balik dengan kekuatan angkatan laut. “


Jika prediksi harian Cina Global Times ini kelak terbukti benar, nampaknya estimasi yang pernah dilontarkan Samuel Huntington bahwa konflik bersenjata antara Cina dan Vietnam, bakal mengobarkan perang berskala global antara negara-negara yang yang bersekutu dengan AS versus negara-negara yang bersekutu dengan Cina, kiranya cukup beralasan.

Sebab pada 1979, Cina pernah menginvasi Vietnam menyusul tergusurnya rezim Khemer Merah pimpinan Pol Pot yang didukung Cina. Meski invasi Cina ke Vietnam hanya sebulan, namun telah menghancurkan secara signifikan sendi infrastruktur di Vietnam bagian utara.


Pertaruhan Cina di Laut Cina Selatan nampaknya memang cukup besar. Terbukti pada 2011, Cina telah mengumumkan akan meningkatkan secara substansial pasukan paramiliter pemantau lautnya yang berpatroli di perairan Laut Cina Selatan.

Pengembangan dan pembesaran The People’s Liberation Army Navy (PLAN) kemungkinan besar dilatar-belakangi selain kian memanasnya suhu politik di Laut Cina antara Paman Mao sendiri melawan beberapa negara di sekitar perairannya dengan tajuk ‘sengketa perbatasan’ akan tetapi yang utama ialah penguatan “String of Pearls”.

Inilah strategi handal Cina di perairan Laut Cina Selatan dalam rangka mengamankan energy security (ketahanan dan jaminan pasokan energi) termasuk mengawal hilir mudik ekspor-impornya di berbagai negara melalui perairan.

 “Sudahkah geostrategi Indonesia mengantisipasi trend politik global di perairan tersebut? Menurut penulis, sebelum berurusan soal Poros Maritim dan Tol Laut, kenali dulu agenda strategis Cina abad 21.

Poros Maritim Dunia (Tol Laut) sejatinya merupakan implementasi sea power dalam lingkup terbatas, ia akan menjadi program super dahsyat di kawasan Asia Pasifik bila bangsa ini telah meraih dan menggenggam dulu TRISAKTI-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat dalam berkebudayaan).

Jika kita gali lebih dalam, Tol Laut cenderung bahkan mungkin berpotensi menimbulkan ‘bencana geopolitik’ bagi negara ini jika pembangunan infrastruktur, sistem keamanan laut, dll diserahkan kepada asing.

Bila semua dilimpahkan ke asing, niscaya sistem dan mekanisme di pelabuhan-pelabuhan dalam kendali mereka. Kapal-kapal kita akan menjadi tamu di negeri sendiri. Kapan boleh merapat atau tidak, tergantung si pemegang sistem.

Ketika Bu Susi hendak memberi kewenangan pemberantasan illegal fishing kepada Paman Sam, bukankah itu bermakna bahwa prosedur dan mekanisme pengamanan laut pun di bawah kontrol asing pula?

Program dan kebijakan yang berdimensi strategis, namun tidak dibarengi pengetahuan tentang anatomi permasalahan, tanpa basis mendalam soal geopolitik, motif-motif terselubung suatu negara seperti Cina yang kebetulan saat ini jadi target utama pemerintahan Jokowi-JK untuk menjalin kerjasama ekonomi, dan tidak ada kajian tentang mana kebutuhan (agenda) prioritas bangsa, pada perkembangannya  kebijakan tadi malah menimbulkan masalah baru yang lebih besar dan kompleks. 
Pada akhirnya pemerintah justru menjadi bagian dari masalah, bukan bagian solusi bangsanya. 
(global)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda