Waspada dengan opini yang dibangun untuk memenangkan calon peserta pilkada yang memiliki elektabilitas rendah.
Kemenangan Donald Trump mematahkan hasil survei-survei yang (kebanyakan) memenangkan Hillary Clinton. Ternyata, hasil survei tak merefleksikan keadaan politik yang sebenarnya. Trump berjaya walau didera berbagai tuduhan dan isu, termasuk isu mendiskreditkan agama.
Adakah hal tersebut juga berlaku di Pilkada DKI Jakarta pada kasus Ahok ?
Elektabilitas pasangan Ahok dan Djarot di rentang waktu Oktober sampai November 2016 diketahui menurun berdasar beberapa hasil survei. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis elektabilitasnya hanya sebesar 10,6 persen pascadidera isu penistaan agama. Jauh di bawah Anies-Sandi yang memimpin 31,90 persen dan Agus-Sylvi 30,90 persen. Sisanya, 26,60 persen masuk dalam kategori swing voters atau belum menentukan pilihan.
Hal yang sama diperlihatkan hasil survei Indikator Politik pada 15 November sampai 22 November 2016. Elektabilitas Agus-Sylvi unggul di angka 30,4 persen. Kemudian disusul pasangan nomor dua, Ahok-Djarot sebanyak 26,2 persen dan Anies-Sandi dengan 24,5 persen.
Sementara, lembaga survei Poltracking Indonesia yang melakukan survei dari 7 November sampai 17 November juga mengumumkan elektabilitas Agus-Sylvi unggul di angka 27,92 persen, Basuki- Djarot 22,00 persen, dan Anies-Sandi 20,42 persen. Sedangkan 29,25 persen pemilik suara masih belum mengambil keputusan memilih.
Belajar dari yang terjadi di AS, banyak hal yang masih mungkin berubah. Hillary dalam banyak survei disebut unggul dari Trump. Survei yang dilansir CNN sebelum pemilihan menyebut Hillary unggul sembilan poin, 52 persen berbanding 43 persen, dibandingkan Trump.
Juga survei yang dilakukan NBC yang bekerjasama dengan Survei Monkey menunjukkan Hillary unggul 50 persen melawan Trump yang hanya meraih 42 persen. Hasilnya, kita semua sudah tahu, sangat meleset.
Apakah mungkin kasus serupa terjadi untuk Ahok-Djarot ?
Nathanael Gratias Sumaktoyo, kandidat dokter ilmu politik dari Universitas Notre Dame, menguraikan alasan mengapa hasil survei di Amerika akhirnya tak merefleksikan kenyataan. Pertama, hal ini dimungkinkan karena banyak responden mengelabui pewawancara.
"Banyak hasil polling yang meng-underestimate Trump, akhirnya mereka saat diwawancara takut dikatakan rasis ketika mendukung Trump," ujar Nathanael dalam diskusi yang digelar perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSAPI) dan Central For Strategic and Internasional Studies (CSIS), Tanah Abang, Selasa (6/12).
Hal kedua, tidak semua pemilih yang disurvei akhirnya datang ke bilik suara untuk memberikan suara. Warga yang saat disurvei memilih Hilary, misalnya, bisa saja akhirnya tidak memberikan dukungan kepada Hillary karena tidak datang di hari pemilihan.
Partai Demokrat menargetkan para anak muda untuk menjadi pemilih tetapnya. Sayangnya, dari data para pemilih yang memberikan suara, kebanyakan pemilih yang pergi ke TPS adalah para orang tua dan kulit putih yang merupakan basis suara partai Republik. Jelas, polling-polling sebelumnya gagal memprediksi siapa yang akan pergi ke TPS. (tirto)
Rekapitulasi Suara Secara Berjenjang Rawan Dimanipulasi
Anggota Komisi II DPR Muchtar Luthfi A. Mutty menilai ketentuan yang mengatur proses penghitungan dan rekapitulasi hasil perolehan suara secara berjenjang syarat akan kerawanan.
Luthfi mengatakan, semakin sering terjadi perpindahan kotak suara dalam proses rekapitulasi berjenjang, semakin tinggi pula tingkat kerawanan manipulasi perolehan suara yang muncul.
"Fakta menunjukkan setiap kali ada mutasi perhitungan suara, di situ terjadi kerawanan. Di TPS (Tempat Pemungutan Suara) dihitung, mutasi di desa dihitung lagi, di kecamatan dihitung lagi, di kabupaten dihitung lagi, di provinsi dihitung lagi. Maka di setiap termin penghitungan ini rawan terjadi manipulasi," kata Luthfi dalam Rapat Koordinasi Regional Pembinaan dan Penyusunan Laporan Keuangan Anggaran Dana Hibah Pilkada Serentak 2017 oleh KPU, Kamis (17/11). (rmol)
Rekapitulasi atau penghitungan suara hasil Pemilu / Pilkada harus dicermati karena masih mengandung kerawanan, meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyiapkan metode untuk mencegah kecurangan. Rekapitulasi dilakukan secara manual dan elektronik.
Dua cara tersebut masih mengandung kelemahan yang bisa dimanfaatkan berbuat kecurangan. Pada pemilu lalu, berbagai modus kecurangan dalam rekapitulasi manual bisa terjadi melalui manipulasi formulir C1 maupun dengan cara berkomplot dengan oknum panitia pemungutan kecamatan (PPK) guna mengubah perolehan suara caleg pesaing. Apalagi anggota PPK, selama ini, kebanyakan kaki-tangan pengurus parpol di tingkat kecamatan.
Meskipun dari sisi aturan dan perundangan rekapitulasi elektronik pemilu hanya sebatas pendukung, tetapi bisa menyebabkan keruwetan dan menyita waktu penyelenggara pemilu. Kondisinya semakin runyam karena sistem rekapitulasi elektronik masih amburadul.