Dinamika politik nasional tahun 2017 dipastikan akan lebih tinggi daripada dinamika politik 2016. Perbedaan pandangan partai politik baik di pilkada maupun parlemen menjadi pemicunya.
Demikian disampaikan peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris saat diskusi di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (15/12)
“Tahun 2017 ada pilkada serentak, terutama Pilkada DKI Jakarta ya. Terus ada pembahasan UU Pemilu, UU MD3, saya menduga UU MD3 tidak selesai tahun ini. Yang wacana penambahan unsur pimpinan dewan tidak semua parpol setuju. Suhunya politik 2017 lebih panas dari 2016,” kata Haris.
Syamsuddin menuturkan, perpecahan parpol pemerintah karena dukungan di Pilkada Serentak 2017, khususnya Pilkada Jakarta sudah terlihat jelas. Pecahnya dukungan itu tentu berdampak pada penggodokan UU di parlemen dan dukungan kepada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
“Misalnya koalisi partai pendukung Jokowi-JK, saat ini dalam kasus Pilkada Jakarta pecah ke dalam dua kubu. Satu mendukung Ahok, satu dukung Agus-Sylvi. Ahok itu kita belum tahu akan ke mana ujungnya, tapi apapun hasilnya, entah Ahok menang atau kalah dalam pilkada akan berdampak pada stabilitas koalisi pendukung Jokowi,” beber Haris
Syamsuddin menambahkan, pada tahun 2017 nanti, pasca pilkada Jakarta bisa saja Partai Gerinda merapat ke pemerintahan. Sementara partai-partai Islam seperti PAN, PKB atau PPP dan PKS yang bersebrangan kemungkinan bisa dievaluasi.
“Politik itu segala sesuatu mungkin saja. Kalau parpol berbasis Islam seperti PAN, PKB, dan PPP mengecewakan Jokowi, mungkin salah satu atau dua-dua atau tiga-tiganya dievaluasi diganti dengan Gerindra. Mungkin saja tapi tergantung perkembangan politik ke depan. Tapi Jokowi memang akan lakukan evaluasi koalisi,” demikian Haris. (pojoksatu)