Inilah sesatnya pemikiran mendagri soal penafsiran non aktifnya Ahok

Inilah sesatnya pemikiran mendagri soal penafsiran non aktifnya Ahok

Status terdakwa itu sudah cukup untuk memberhentikan sementara terdakwa . Tidak perlu menunggu tuntutan


Peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN), Mei Susanto mengatakan penafsiran Kementerian Dalam Negeri dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sudah berstatus terdakwa tidak dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI karena menunggu penuntutan itu sangat menyesatkan.

"Jika menunggu tuntutan JPU (jaksa penuntut umum) sebagaimana disebut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, jelas ini tafsir yang keliru dan menyesatkan," kata Mei, Sabtu (11/2/2017).

Ia menjelaskan status terdakwa itu ketika seseorang telah didakwa dimuka pengadilan oleh jaksa penuntut umum, itu sudah cukup untuk memberhentikan sementara terdakwa kasus penistaan agama Ahok.

"Tidak perlu menunggu tuntutan, jadi sebaiknya pemerintah saat ini tidak perlu membuat tafsir yang berlebihan," ujarnya.

Menurut dia, hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 83 ayat (1) yakni status kepala daerah sebagai terdakwa dengan ancaman pidana penjara 5 tahun itu harus diberhentikan sementara.

Karena, status Ahok alias BTP sebagai terdakwa penistaan agama sesuai Pasal 156A KUHP ancamannya adalah 5 tahun membuatnya harus diberhentikan sementara. Dan yang memberhentikan sesuai Pasal 83 ayat (2) UU Pemda adalah Presiden, bukan Menteri Dalam Negeri.

"Klausulnya jelas sebagai terdakwa bukan ketika sudah ada tuntutan dari jaksa penuntut umum," jelas dia.

Untuk diketahui, Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto mengatakan pihaknya belum bisa mengeluarkan Surat Keputusan (SK) penonaktifan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena sampai saat ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum memutuskan berapa lama Ahok akan dituntut.

"Jaksa itu kan mendakwa dua Pasal 156 sama Pasal 156a (KUHP), dimana Pasal 156 ancaman hukuman maksimal empat tahun dan Pasal 156a ancaman lima tahun. Kalau sekarang kami berhentikan menggunakan dakwaan Pasal 156a, terus tuntutannya menggunakan pasal satunya, ya kami digugat toh," katanya.

Menurut dia, sebagaimana ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Kementerian Dalam Negeri baru bisa memberhentikan kepala daerah yang tersangkut masalah hukum jika tuntutannya kurungan penjara lima tahun ke atas.

"Kalau dakwaannya tunggal hanya satu pasal (156a), tentu saya akan pakai itu (sebagai dasar penerbitan SK penonaktifan Ahok). Nah masalahnya ini berlapis, sehingga tuntutannya menggunakan pasal yang mana, kan belum diketahui," ujarnya. (ris)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda