Menelusuri kehidupan kaum Waria di kampung kumuh dan padat penduduk Jakarta

Menelusuri kehidupan kaum Waria di kampung kumuh dan padat penduduk Jakarta

“Naluri saya wanita, dek!” ujar Angel seperti merajuk. Di bawah temaram lampu jalanan, celana jeans yang dikenakannya malam itu tampak lusuh sekali. Kemeja kebiruan yang melekat di tubuhnya seakan-akan tak pernah dicuci.


“Naluri saya wanita, dek!” ujar Angel seperti merajuk. Celana jeans yang dikenakannya malam itu tampak lusuh sekali di bawah temaram lampu jalanan. Kemeja kebiruan yang melekat ditubuhnya seakan-akan tak pernah dicuci. Wangi tubuhnya seperti harum kuli bangunan yang baru saja pulang memikul beban. Di tangan kanannya tampak tas jinjing yang isinya adalah peralatan salon (make-up). Rambutnya ikal diikat sebahu. Wajahnya tampak kusam walaupun make-up tebal menutupi seluruh wajahnya dengan gincu merah di bibirnya. Bau minyak wangi murahan bercampur dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya.

“Saya cuma bisa nyalon, dek,” ujarnya lirih. Saya paham. “Saya nggak tahu kerja apalagi. Saya nggak punya ijazah. Saya kerja di tempat lain banyak diejek orang. Saya jalan saja orang-orang ngejek terus, gimana saya mau makan kalau nggak nyalon.” Nyalon maksudnya adalah keliling kota untuk mencari pelanggan. Ada yang mau dirias, ada yang tidak. Kebanyakan menolak karena hasil make-up darinya tidak sebagus make-up waria lain di salon besar.

“Apa pernah terpikir kerja di tempat lain?”

“Nggak ada yang terima saya, dek. Saya jalan diejek, saya ngomong diejek juga. Semua orang nggak terima karena saya banci!”

Lima menit kemudian hanya terdengar helaan napas kami. Lampu sorot memercikkan cahaya ke sungai.

“Di sana banyak waria mencari pelanggan!” tunjuk Angel ke arah seberang sungai sebelah kiri. Di bawah pohon yang sepi. “Banyak pria mencari waria dengan bayaran murah!”

Saya mendengus. “Kenapa tidak mencoba ke sana?”

Angel terkekeh. Lambat-laun cerita sudah berbeda. Angel tak pernah diterima di golongannya sendiri. “Bahkan, dunia waria juga mencampakkan saya!”

Kehidupan Waria di Kampung Bandan

Di kampung ini menetap para waria yang hidupnya tergantung pada area itu. Banyak dari mereka mengonsumsi obat anti letih. Simak bagaimana kesehariannya.

Membebaskan diri dari kekangan sosial
Sore hari Kezia sudah selesai merias wajah dan menata rambutnya. Sabtu adalah malam panjang buat waria seperti Kezia. Kezia sudah siap mengamen sebagai pekerjaan utamanya. Lahir sebagai Reza, Kezia memilih menjadi waria dan tinggal di Kampung Bandan, kawasan padat penduduk miskin meski ayahnya tergolong mampu dan sudah membelikan rumah untuk anak laki-lakinya di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat.

Berjalan jauh dengan hak tinggi
Gaun, tas dan sepatu hak tinggi merupakan andalan Darno yang mengubah namanya menjadi Vera, dalam meraup rupiah. Dari jam 19 hingga 2 pagi, Vera menelan sirup obat batuk merek tertentu sebanyak 30 bungkus per hari agar kuat berjalan jauh, mengamen. Pilihan lain.,obat penenang atau pereda sakit yang dibeli dari apotek secara diam-diam. Pemakaian obat secara berlebihan bisa berakibat fatal.


Ruang hidup di kamar sempit
Di kamar kontrakan berukuran 1,5 x 2,5 meter seharga 400 ribu rupiah sebulan ini, Ella dan Dede tinggal bersama. Pasangan ini sudah hidup bersama selama tujuh tahun. Dede bekerja menyewakan alat mengamen untuk para waria dengan ongkos lima puluh ribu rupiah seminggu.

Komitmen pada kesetiaan
Ella bekerja mengamen tanpa kencan dengan pria lain karena ia sudah berkomitmen setia pada Dede. Sama seperti Vera, Ella mengaku memerlukan obat-obatan agar tidak letih berjalan kaki.

Terbiasa hidup dengan obat anti letih
Kosmetik termasuk kebutuhan utama para waria. Alas bedak, bedak dan umumnya setiap waria bisa dandan sendiri. Namun ada kalanya para waria saling bantu merias wajah teman. Seperti yang lainnya, merekapun mengkonsumsi obat anti letih.

Siap mencari nafkah
Butuh waktu minimal dua jam untuk merias wajah, mengubah raut muka pria menjadi perempuan. Selain rias wajah, rambut palsu atau wig menjadi pelengkap andalan para waria.

Operasi payudara di Singapura
Christine operasi payudara di Singapura pada tahun 2015 silam. Butuh biaya 12 juta rupiah untuk menambah silikon padat seberat 100 cc. Christine mengaku bekerja sebagai PSK di Taman Lawang. Sama seperti Vera dan Ella, Christine mengaku mengonsumsi obat-obatan agar kuat berdiri dan tidak lekas lelah.


Ketika mereka sakit...
Emak tinggal di kamar berdinding tripleks di lantai atas sebuah kamar kontrakan di Kampung Bandan. Sewa kamar sempit ini 250 ribu rupiah sebulan. Hari itu Emak sedang sakit di bagian kanan perut dan rongga dadanya sehingga ia tidak mengamen.

Layanan kesehatan gratis belum diperoleh
“Saya baru mau periksa dokter nanti kalau pulang ke Cikarang,” tutur Emak sendu. Layanan kesehatan gratis bagi warga belum bisa diakses oleh kelompok marjinal ini.

Berbagai sumber internet
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel