Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun menilai hak interpelasi yang hendak digunakan Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta merupakan wujud kritis wakil rakyat terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, ia juga melihat pola pengajuan interpelasi kali ini sebagai balas dendam.
Balas dendam, maksud Ubedillah, mengingat dulu fraksi partai-partai oposisi juga pernah berencana menginterpelasi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat menjabat Gubernur DKI tapi berujung batal.
"Saya kira ini polanya seperti pola dendam, pada masa Ahok juga pernah ingin interpelasi, tapi ini lebih kepada kritik terhadap langkah-langkah Anies Baswedan agar lebih berhati-hati mengambil kebijakan dan on the track menggunakan APBD dan seterusnya," ujar dia kepada Republika.co.id, Senin (5/2).
Menurut Ubedillah, kalau sebatas ingin mengevaluasi, tentu tidak masalah. Kalau jika sudah bermuatan politis seperti menghambat kinerja Pemprov DKI maka langkah interpelasi itu menjadi kontraproduktif.
"Kalau sebatas evaluasi itu enggak apa-apa. Tapi kalau sudah sangat politis untuk menghambat kerja-kerja, itulah yang patut menjadi perhatian publik," ujar dia.
Seperti diketahui, wacana Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta menggunakan hak interpelasi atas Gubernur Anies Baswedan dan Wagub Sandiaga Uno terus bergulir. Menurut Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono, kebijakan Gubernur Anies Baswedan dan Sandiaga banyak melanggar undang-undang (UU) dan peraturan daerah (perda).
Hak interpelasi ini diajukan dengan niat untuk melakukan koreksi atas kebijakan Anies-Sandi. PDIP, kata Gembong, akan memaksimalkan fungsi pengawasan. Hal ini juga akan dikomunikasikan dengan fraksi-fraksi lain, termasuk Fraksi Partai Gerindra dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Fraksi PDIP beralasan, setidaknya ada dua kebijakan Anies-Sandi yang melanggar UU dan peraturan daerah. Pertama, kebijakan penataan kawasan Tanah Abang. Kedua, terkait pemberian izin penyelenggaraan kegiatan besar di Monas. Kebijakan pembukaan Monas untuk kegiatan masyarakat ini, kata mereka, telah mengesampingkan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995. (Umar Mukhta)