Pengamat Hukum Pidana Universitas Indonesia, Junaedi menilai Indonesia terancam menjadi negara 'Police State' bila pasal penghinaan presiden tetap dipaksakan masuk Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Apalagi jika sampai kemudian disahkan DPR. "Jika disahkan akan semakin menguatkan Police State," kata Junaedi kepada wartawan, Rabu (7/2).
Police State yang ia maksud adalah polisi dibawah eksekutif. Terlebih polisi bisa menindak tanpa ada laporan. "Maka akan berpotensi digunakan untuk memukul oposan atau kritikus pemerintah," katanya menambahkan.
Bila ini dibiarkan, tentu memberi nilai negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Sehingga gangguan dan kemunduran demokrasi sangat potensial terjadi. Karena itu ia berharap DPR bisa mempertimbangkan secara matang kerugian ini.
Soal munculnya pasal penghinaan presiden di rancangan KUHP ini, baginya cukup mengherankan. Sebab sebelumnya hal ini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika kembali dipaksakan dan bersikeras ingin ditetapkan sebagai pasal KUHP, ia menilai akan rentan untuk dibatalkan kembali. "Sehingga untuk apa ditetapkan jika nanti dibatalkan. Secara norma sudah dianggap bertentangan dengan konstitusi sehingga harusnya enggak perlu masuk (KUHP) lagi," tegasnya.
(Andi Nur Aminah)
Padahal...
MK Ingatkan DPR, Pasal Penghinaan Presiden Sudah Dihapus
Revisi KUHP di panja Komisi III DPR sedang dalam tahap pembahasan dan akan dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan. Terdapat beberapa usulan tambahan pasal dalam revisi KUHP, salah satunya adalah penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Padahal, pasal ini sudah diputus inskonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu.
Dalam putusannya yang bernomor 013-022/PUU-IV/2006, MK menyatakan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden menegasikan persamaan di depan hukum.
"Dulu MK memutuskan, bahwa pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di KUHP ini produk kolonial yang diadaptasi dari penghinaan terhadap raja atau ratu. Pada masa itu, raja dan ratu merupakan simbol negara," kata juru bicara MK Fajar Laksono (Kum)
Cerita sebelumnya :
Usulan Kementerian Hukum dan HAM yang kembali memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang-Undang KUHP menuai kontroversi. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus delik ini pada 2006 lalu.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari mengaku sangat tidak sepakat dengan usulan itu. Lantaran, usulan itu dinilai akan sia-sia dan membuang waktu saja.
"Karena itu sudah diputus dan ditolak MK, kok masih tetap dipaksain. Apakah itu bukan manuver yang sia-sia? Karena toh kalo di judicial review ya akan gagal lagi. Jadi ya hanya buang-buang waktu saja untuk membahas pasal yang diajukan kembali itu," kata Eva di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (3/4/2013).
Eva menjelaskan, jika pasal ini kembali dimasukkan dalam RUU KUHAP, akan memunculkan politisi 'penjilat' dan menghidupkan kembali pola Asal Bapak Senang (ABS) seperti era Orde Baru dan era kolonial Belanda.
"Jadi ini banyak agenda yang terkesan menjilat. Kalau ini disahkan, ya berarti kita balik lagi ke zaman Belanda. Dan itu akan menurunkan kualitas demokrasi kita dan equality before the law," ungkapnya. (sumber)
Namun kini setelah Jokowi jadi presiden maka...
Pemerintah ingin menghidupkan lagi Pasal Penghinaan terhadap Presiden. Tanggapan kritis pun bermunculan dari Parlemen. Apalagi, seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 telah mencabut pasal tersebut.
Politikus senior PDIP Eva Sundari mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden wajar adanya lantaran tak bermaksud mencederai asas kesamaan di mata hukum. Dia menegaskan, pasal ini bertujuan melindungi kehormatan presiden dari perbuatan tak menyenangkan dan pencemaran nama baik.
"Kenapa presiden tidak boleh (mengajukan)? Presiden juga manusia lho, walau dia presiden, simbol negara, tapi punya hati dan perasaan. Jadi, ide tersebut masuk akal," ujar Eva Sundari, Rabu (5/8).(sumber)
* Presiden bukan simbol negara
Presiden bukan simbol negara, melainkan kepala negara dan kepala pemerintahan. UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan jelas menyebut simbol negara ialah Garuda Pancasila, bukan presiden.