Beginilah wajah pemerintahan Jokowi, ekonomi melemah dan utang luar negeri meningkat tajam

Beginilah wajah pemerintahan Jokowi, ekonomi melemah dan utang luar negeri meningkat tajam

Dalam APBN, alokasi anggaran terbesar disedot untuk pembayaran bunga, pokok, dan cicilan utang. Fahri Hamzah pernah memprediksi, jika jadi presiden, Jokowi cuma akan mengandalkan utang, dan terbukti.


Tiga tahun pemerintahan Joko Widodo, perekonomian belum bisa disebut bagus. Pertumbuhan ekonomi tahun ini, hanya 5,1%. Jangan biarkan kalau tak ingin elektabilitas Jokowi tergerus.

Hasil riset Indonesia Network Election Survei (INES) pimpinan Edi Sektianto, menyebut, kemerosotan elektabilitas Jokowi, erat kaitannya dengan perekonomian masyarakat dalam tiga tahun terakhir.

Ada kejutan ketika menyandingkan elektabilitas Jokowi dengan Prabowo dan Gatot Nurmantyo. Di mana, menurut INES: Prabowo unggul dengan 52,1%; disusul Jokowi 31,1% dan Gatot Nurmantyo 16,7%.

INES menyebut, kekecewaan wong cilik kepada pemerintahan Joko Widodo, lantaran urusan perut atau ekonomi yang melemah. Di sisi lain, porsi utang luar negeri (ULN) meningkat tajam.

Ketersediaan bahan pangan terus menipis, alhasil kebijakan impor menjadi solusinya. Dan, tak ada perbaikan atas fasilitas pendidikan dan kesehatan. Jujur saja, masyarakat awam masih sulit mendapatkan layanan pendidikan atau kesehatan murah namun berkualitas.

Repotnya lagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terus menumpuk utang baru berbentuk global bonds senilai US$4 miliar. Ada tiga seri global bonds yang diterbitkan, masing-masing bertenor 5, 10, dan 30 tahun.

Dengan kurs tengah Bank Indonesia (BI), sebesar Rp13.546/US$, maka nilai utang baru itu mencapai Rp54,2 triliun.

Padahal, sampai akhir Oktober 2017, ULN sudah mencapai US$ 287,2 miliar, atau setara Rp3.898 tirliun. Artinya, sampai awal bulan ini, total utang Indonesia setidaknya berjumlah Rp3.952 triliun. Sedikit lagi mencapai Rp4.000 triliun. Luar biasa bin fantastis.

Pemerintah (nyaris) tidak pernah mengatakan, utang baru dibuat untuk membayar utang lama. Jangan lagi berharap Sri Mulyani bersama jajarannya bakal menjelaskan bahwa alokasi pembayaran utang jauh lebih besar ketimbang anggaran untuk pendidikan, pembangunan infrastruktur, belanja birokrasi, dan lainnya.

Secara makro, pertumbuhan ekonomi terbukti menurun, atau mendatar 5% saja. Angka ini jauh dari kebutuhan nyata untuk menopang demokrasi di Indonesia. Lapangan kerja tetap sulit, sementara sebagian besar diisi oleh pekerja 'impor' asal China.

Yang paling celaka adalah daya beli masyarakat yang terus-terusan gembos, impor barang konsumsi melonjak, sehingga industri lokal sempoyongan. Jangan heran bila jumlah penduduk yang dhuafa terus bertambah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah rakyat miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang per Maret 2017. Ada kenaikan 10.000 orang dibanding September 2016 yang jumlahnya 27,76 juta orang.

Dalam APBN 2017, alokasi anggaran terbesar disedot untuk pembayaran bunga, pokok, dan cicilan utang. Jumlahnya mencapai Rp486 triliun. Posisi kedua dan ketiga dialokasikan untuk pendidikan Rp416 triliun dan infrastruktur Rp387,3 triliun.

Entah apakah Sri Mulyani lengah atau lemah, dalam APBN 2018, pemerintah menganggarkan pembayaran bunga utang Rp238,6 triliun. Sedangkan alokasi untuk cicilan pokok utang sebesar Rp399,2 triliun. Total jenderal anggaran untuk pembayaran utang 2018 mencapai Rp637,8 triliun. Ini bukan jumlah yang kecil.

Celakanya, pemerintah tidak pernah terbuka apalagi jujur kepada publik. Pertama, pemerintah tidak pernah menyebutkan, apalagi menjelaskan bahwa alokasi anggaran terbesar dalam APBN adalah untuk membayar utang.

Kedua, pemerintah sengaja menyamarkan nomenklatur alokasi pembayaran cicilan pokok utang, dan menggantinya dengan frasa pembiayaan utang. Apa maksudnya?

Dulu, ketika Pak Harto berkuasa, dia membuat utang senilai US$48,8 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi rata-rata positif 6% selama 32 tahun. Di awal-awal pemerintahan Soeharto, bahkan sempat tumbuh di kisaran 8%.

Pemerintahan Habibie memerlukan US$19,6 miliar guna mengangkat perekonomian dari (minus) -9% ke (minus) -4,5%. Di era Gus Dur, mampu mengurangi utang US$4,15 miliar dan mendongkrak ekonomi dari (minus) -4,5% menjadi 4%.

Presiden Megawati, berutang US$64,39 miliar agar ekonomi tumbuh di kisaran 4% selama tiga tahun. Pemerintahan SBY memerlukan US$158,8 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 4% hingga 6% selama 10 tahun.

Terakhir, pemerintahan Jokowi butuh US$133 miliar hanya dalam tempo tiga tahun. Hasilnya apa? Perekonomian hanya kuntet di level 5%.

Suka atau tidak suka, berbekal data tersebut, kinerja paling moncer adalah di era Abdurrahman Wahid. Kala itu, perekonomian tumbuh dari -4,5% menjadi 4%, atau lompatannya 8,5%. Pada saat yang sama, utang pemerintah justru berkurang. Ternyata, Indonesia pernah bisa membangun tanpa harus menambah utang. Bahkan mampu menguranginya, luar biasa.

Hebatnya lagi, growth tadi sangat berkualitas. Pertumbuhan ekonomi dibagi dengan adil bagi seluruh masyarakat. Indikatornya, koofisien rasio Gini turun ke 0,31. Ini adalah rekor terendah Indonesia sepanjang 50 tahun terakhir.

Dulu, Soeharto pada 1993 pernah menekan Gini Ratio ke titik 0,32. Bedanya, rezim Suharto perlu 26 tahun (1967-1993) untuk menurunkannya dari 0,37 ke 0,32. Sedangkan tim ekonomi Gus Dur cuma perlu waktu kurang dari dua tahun (1999-2001) untuk menurunkan dari 0,37 ke 0,31.

Ada sejumlah langkah yang ditempuh tim ekonomi Gus Dur dalam mengelola utang dan membangun negeri. Antara lain melalui teknik debt swapt dan restrukturisasi. Strategi lain, melakukan revalusasi aset dan sekuritisasi aset.

Khusus dua teknik terkakhir sebenarnya sudah sering disampaikan Presiden Jokowi. Sebagian kalangan bahkan menyebut revaluasi aset dan sekuritisasi aset sebagai bagian dari Jokowinomics. Sayangnya, tim ekonomi Presiden Jokowi lebih asyik dengan program dan agenda Neoliberal yang mencengkeram ekonomi rakyat.

Bagaimana dengan tim ekonomi Presiden Jokowi? Nampaknya mereka lemah dan lelet dalam mengatasi masalah dan tantangan yang ada.

Lagi-lagi BPS menyebut, peran dan kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah. Padahal dari sisi watu sudah lewat semester pertama.

Dari kontribusi pengeluaran di kuartal I-2017 lalu yang menorehkan pertumbuhan 5,01%, ternyata peran Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (PK-P) sangat rendah. Stagnasi ekonomi sudah terjadi. Kini, ada masalah utang yang bertumpuk, pertumbuhan ekonomi yang rendah dan tak berkualitas, merosotnya elektabilitas Jokowi.

Semua itu menjadi beban berat bagi pemerintahan Jokowi dalam menapaki 2018 yang disebut-sebut sebagai tahun politik.

Dan, prospek demokrasi terancam suram dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun demokrasi mensyaratkan pertumbuhan ekonomi minimal 6%, kesejahteraan dan keadilan, adanya rule of law yang kuat dan civil society yang tangguh dan independen. Absennya prasyarat-prasyarat itu membuat rakyat semakin gelisah dengan masa depan demokrasi liberal yang kian banal. Quo vadis, Pak Jokowi? (i)

Kalo belum capek bacanya, silaken lanjut ....yeh 🆚



*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel