Dampak dari sistem pilkada langsung yang penuh dengan politik transaksional

Dampak dari sistem pilkada langsung yang penuh dengan politik transaksional

Penolakan pemilihan kepala daerah lewat DPRD disampaikan beberapa kalangan dari lembaga survei. lembaga survei diduga tidak berpihak pada rakyat, tetapi pada kepentingan pangsa pasar mereka yang terancam.


Banyaknya calon kepala daerah yang ditangkap KPK membuat prihatin Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Bambang Soesatyo (Bamsoet). Hal itu, menurut Bamsoet, merupakan dampak dari sistem pilkada langsung yang penuh dengan politik transaksional.


Dia menjelaskan, DPR banyak menerima masukan dan laporan tentang sistem pilkada langsung.

"Pilkada langsung telah banyak memakan korban. Saya berharap KPK bisa membuat kajian tentang pilkada langsung dan dampaknya terhadap korupsi maupun kondisi sosial bangsa,” kata Bamsoet di Jakarta pada hari Selasa (13/3).

Bamsoet mengatakan, kajian itu diperlukan untuk mengetahui apakah pilkada langsung lebih banyak manfaatnya atau malah menyusahkan.

"Kita tidak boleh takut dan malu memperbaiki sistem yang ada," katanya.

Menurut politikus Partai Golkar itu, penerapan pilkada melalui DPRD akan mempersempit ruang korupsi. Sistem ini diyakini akan mempermudah KPK untuk melakukan pengawasan.

“Saya rasa KPK akan mudah mengawasi Pilkada melalui DPRD. Kita tidak ingin bangsa ini terus berkubang dalam lingkaran korupsi. Sistemnya harus diperbaiki dengan meningkatkan tindakan pencegahan dan pengawasan," pungkasnya.

Lebih jauh megenal Pilkada Langsung

Salah satu yang membuat ketidaksiapan rakyat Indonesia dalam mengikuti Pilkada langsung adalah keterbatasan informasi. Mereka mendapatkan informasi namun tidak secara utuh. Kondisi yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian elit politik dalam Pilkada.

Acapkali informasi yang diperoleh masyarakat, tidak berimbang. Media-media lokal yang ada di daerah kemudian digunakan sebagai sarana untuk membentuk opini.

Sering terjadi figur yang rekam-jejaknya tidak jelas, berhasil mendapatkan citra positif karena pencitraan di media massa. Informasi yang didapat masyarakat sangat tidak berimbang.

Pemilihan kepala daerah yang digelar dalam 10 tahun terakhir terbukti tidak efisien dalam hal pembiayaan. Harus jujur diakui bahwa fakta menunjukkan Pilkada dilaksanakan secara langsung lebih besar anggaran yang dikeluarkan hingga triliunan rupiah, ketimbang Pilkada oleh DPRD seperti sebelumnya.

Pilkada langsung juga menimbulkan gejolak sosial dan mendegradasi moral rakyat karena terlibat langsung dalam praktik jual-beli suara. Selain itu, besaran beban kampanye membuat kepala daerah terpilih rawan melakukan tindak pidana korupsi. Yakni untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya.

Estimasinya yang akan di rugikan jika pilkadang melalui DPRD....

1. Lembaga Survei.
2. Provokator.
3. Media sebagai salah satu pembentuk opini publik.
4. Tukang sablon kaos akan menurun omsetnya
5. Tukang reklame akan kekurangan order pembuatan baliho kampanye
6. Rakyat bawah tidak lagi menikmati uang sogok untuk beli suara..

Penolakan pemilihan kepala daerah lewat DPRD juga disampaikan beberapa kalangan dari lembaga survei. Mereka menilai pilkada oleh DPRD langkah mundur dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Namun, penolakan itu ditengarai bermuatan agenda tersembunyi. Karena sejatinya, lembaga survei diduga tidak berpihak pada rakyat, tetapi pada kepentingan pangsa pasar mereka yang terancam.

*Rangkuman dari berbagaai sumber berita online.
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel