Migrasi kartu ATM ke teknologi chip 'lamban', pembobolan rekening terus berulang, Tak hanya melalui mesin ATM, penggandaan data nasabah juga dapat dilakukan melalui mesin EDC (Electronic Data Capture).
Kasus pembobolan kartu debit atau kartu anjungan tunai mandiri (ATM) melalui teknik penggandaan data (skimming) terus terjadi sejak 2009.
Peralihan kartu dari teknologi pita magnetik ke chip yang lamban dianggap sebagai pangkalnya.
Bank Central Asia (BCA) pada tahun 2010 menyebut kerugian nasabahnya akibat skimming mencapai Rp5 miliar. Kejahatan model itu menyasar berbagai bank, seperti Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia dalam kasus Maret ini.
"Sejak 2010 Bank Indonesia mewacanakan penggunaan teknologi chip, tapi pelaksanaannya kerap diundur sampai 2021."
"Kasus seperti ini kerap terjadi karena tidak ada perkembangan teknologi perbankan yang berarti," kata pakar digital forensik, Ruby Alamsyah, kepada BBC Indonesia, Rabu (21/03).
Sepuluh bulan sebelum Polri kembali mengungkap kejahatan skimming terbaru di Kediri dan Surabaya, Jawa Timur, pada Juni 2017 BI menetapkan standar teknologi chip untuk kartu debit.
Kebijakan itu dibuat atas pertimbangan perlindungan terhadap nasabah. Tahun 2015, BI lebih dulu mewajibkan bank menerapkan enam digit personal indentity number (PIN).
Melalui Standar Nasional Teknologi Chip, BI membagi migrasi kartu magnetik menuju chiplima tahapan waktu. Akhir 2018, 30% kartu debit yang beredar harus sudah berteknologi chip.
Secara berturut-turut selama tiga tahun berikutnya, persentase itu harus meningkat menjadi 50%, 80%, dan 100%.
"Keamanan fisik perbankan sedemikian lemah dan dimanfaatkan terus, tidak ada perkembangan berarti dalam sistem ATM bank sehingga kasus itu tetap marak," kata Ruby.
Usai pengungkapan pembobolan rekening BRI di Kediri, Deputi Bank Indonesia Erwin Rijanto mendesak semua bank mengganti kartu debit nasabah.
Erwin menilai teknologi kartu debit dan ATM yang lawas adalah satu-satunya penyebab kejahatan skimming.
"Yang di-skimming adalah kartu debit yang menggunakan magnetic stripe," ujarnya kepada pers, Jumat pekan lalu.
Hal serupa dikatakan Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Setyo Wasisto.
"Dengan perkembangan teknologi, sebetulnya pihak perbankan dituntut menciptakan kartu yang sekuritinya ditingkatkan, yaitu dengan chip atau pengaman lainnya sehingga yang tidak berhak sulit menggunakan kartu itu," kata Setyo, Rabu (21/03).
Hingga tengah pekan ini, kepolisian menangkap empat warga asing asal Bulgaria, Rumania, dan Hungaria, yang diduga berada di balik jejaring pengganda data nasabah.
Polisi menduga kartel itu terdiri dari sejumlah kelompok yang tidak saling mengenal. Setiap satuan kepolisian di beberapa daerah kini bekerja sama untuk mengejar pelaku skimming lainnya.
Polri melacak, setidaknya kasus pembobolan rekening ini terjadi di Kediri, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Bandung, dan Tangerang.
Direktur Reserse Umum Polda Metro Jaya, Kombes Nico Afinta, menyebut jejaring pembobol rekening nasabah bank beraksi tak hanya di Indonesia, tapi juga Amerika Serikat, Singapura, India, dan belasan negara lain.
Menurut Ruby Alamsyah, Indonesiamenjadi sasaran kejahatan skimming karena lemahnya koordinasi antarinstansi serta penegakan hukum yang lemah.
Pada tahun 2010 misalnya, dua pelaku kejahatan ini divonis penjara selama 1,5 tahun oleh Pengadilan Negeri Bali. Mereka terbukti merugikan nasabah BCA hampir sekitar Rp5,8 miliar.
Sebelumnya, Direktur Digital Banking dan Teknologi Informasi BRI Indra Utoyo menyebut perusahaannya akan mempercepat migrasi pita magnetik ke chip.
"Target kami 30% di tahun ini," kata Indra di Bandung, Sabtu pekan lalu. Angka yang disebutnya merupakan kewajiban yang diberikan BI.
BRI, kata Indra, telah mengganti uang nasabah yang hilang akibat kejahatan skimming sebesar Rp145 juta. Nominal itu untuk 33 rekening nasabah yang berada di Kediri.
Adapun, Bank Mandiri juga mengklaim telah mengembalikan uang nasabahnya yang raib. Namun bank pelat merah ini menolak menyebut nominal yang mereka tanggung.
"Ada (kerugian) tapi tidak banyak," kata Corporate Secretary Bank Mandiri, Rohan Hafas.
Di balik kewajiban migrasi ke teknologi chip ini, Ruby Alamsyah menilai bank tidak terlalu antusias karena ongkos yang tak sebanding dengan penerimaan.
Ruby berkata, industri perbankan kini lebih fokus mengembangkan transaksi non-tunai seperti melalui internet dan mobile banking.
"Mereka merasa merapikan ATM berbiaya tinggi tapi hasilnya belum tentu tinggi bagi keuntungan mereka," ujarnya.
Terkait penilaian itu, Indra Utoyo enggan memaparkan investasi BRI untuk pergantian kartu debit dan ATM serta perangkat yang berkaitan dengan transaksi tunai lainnya.
"Biaya ada, tapi buat kami yang penting nasabah aman dari ancaman skmming, pencurian data," kata Indra. (source)