Agar Jokowi bisa dua periode, hanya dengan strategi "Borong Partai" yang bisa meruntuhkan penghalang. Untuk memuluskan skenario "borong partai", kubu Jokowi hanya tinggal memastikan dukungan PKS atau PAN.
Sampai saat ini, Prabowo Subianto masih menjadi penghalang utama untuk menjadikan Jokowi Widodo sebagai Presiden RI dua periode. Sejumlah skenario mulai dilakukan kubu Jokowi untuk meminimalisir resiko kekalahan dari Ketua Umum Partai Gerindra itu di Pilpres 2019 mendatang.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Izha Mahendra memprediksi Pilpres 2019 akan diisi dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden karena terbentur syarat UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur ambang batas sebesar 20 persen untuk perolehan kursi di DPR dan/atau 25 persen perolehan suara nasional untuk mengajukan calon presiden.
"Itupun kalau PKS tetap berkomitmen mendukung majunya Prabowo Subianto. Kalau berpisah, kemungkinannya calon tunggal," katanya, sesaat setelah menggelar Tasyakuran bersama anak yatim dan dhuafa untuk merayakan lolosnya keikutsertaan PBB di Pemilu 2019, Selasa (13/3).
Menurut dia, bila dalam perkembangannya PKS meninggalkan teman koalisinya, yakni Partai Gerindra, malah besar kemungkinannya dalam Pemilu 2019 hanya diikuti oleh calon tunggal, yakni Joko Widodo karena masing-masing partai tidak mampu memenuhi syarat pengajuan Capres/Cawapres.
"Kalau PKS kemudian keluar, bisa-bisa Prabowo juga tidak bisa maju. Yang terjadi kemudian adalah calon tunggal Jokowi," ucap Yusril.
Bila dalam kenyataannya akan muncul calon tunggal, Yusril menegaskan akan tetap berjuang dan berkampanye untuk memenangkan kotak kosong.
Saat ini, tegas Yusril, PBB sendiri sudah menyatakan diri berada di luar poros atau kubu Jokowi. Di sisi lain juga belum menentukan sikap apakah akan mendukung calon Presiden Prabowo Subianto.
"Saya tidak merapat kemana-mana kalau negosiasinya tidak jelas. Wacana-wacana (poros ketiga) mungkin saja ada, tetapi apakah itu mungkin," ujarnya Yusril berencana mendukung kotak kosong bila nantinya calon presiden yang ada adalah calon tunggal.
"Kalau misalnya calon tunggal ya, barang kali PBB akan kampanye untuk dukung kotak kosong ya. Dan akan menjadi kekuatan oposisi utama dalam republik ini," ujar Yusril.
Sementara itu..
Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar, cukup menyayangkan makin kecilnya peluang capres alternatif muncul di pilpres 2019. Padahal, banyak nama alternatif yang mungkin bisa menjadi pilihan sebagai pemimpin yang berkualitas untuk Indonesia.
Dia mengatakan, dengan koalisi besar PDIP yang mengusung Joko Widodo sebagai capres bersama, beberapa parpol di parlemen memunculkan dominasi politik atas capres tertentu. Menurut dia, banyak partai politik merasa kalah sebelum bertanding. "Hal ini mematikan demokrasi dengan defisit kader terbaik partai untuk capres," ungkap Rully kepada wartawan, Rabu (7/3).
Dengan tertutupnya peluang kader partai atau tokoh terbaik bangsa diusung sebagai capres maka akan sangat sulit capres alternatif muncul sebagai pilihan untuk memimpin bangsa ini. Desain pilpres seperti ini, menurut dia, sama saja mengarah kepada calon tunggal.
"Dan ini adalah kegagalan partai politik yang makin banyak bermunculan, tetapi tidak menghasilkan kaliber pemimpin nasional," ungkapnya.
*Dirangkum dari beberapa sumber berita online