Menjadi petani di Indonesia ternyata tidak semudah yang dibayangkan, kendati negara ini dikenal dengan sebutan negeri agraris.
Bagaimana tidak, menjadi petani saat ini kian sulit akibat banyak kebijakan baru dari pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian yang bukannya mendorong produksi petani meningkat, malah memotong banyak bantuan dan program dukungan ke petani.
Misalnya, petani padi. Sebagai petani yang menghasilkan gabah, lalu diolah menjadi padi dan akhirnya beras, kini tidaklah semudah 5 atau 10 tahun lalu.
Maftukin, petani asal Lamongan Jawa Timur. Saat ini dia menjadi ketua kelompok tani dan mengelola sawah hingga 60 hektare bersama anggota kelompok taninya.
Dia menyusun rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) tani sehingga tergambar berapa konsumsi pupuk yang dibutuhkan dalam setahun periode masa tanam. Sebagai petani lama sejak era Orde Baru sampai sekarang, dia merasakan betul bagaimana perjuangan yang harus dirasakan petani dalam bercocok tanam padi di sawah.
“Jauh sekali perbandingannya, pemerintah maunya target produksi beras naik, tapi petani tidak didukung malah program bantuan terus dikurangi,” katanya kepada Bisnis, seusai mengikuti workshop Plant Science Primer 2017 oleh Croplife Asia di Manila, Filipina baru-baru ini.
Bantuan yang sudah sangat jauh berkurang itu misalnya pupuk fosfat SP36. Pupuk ini sangat dibutuhkan petani untuk meningkatkan hasil produksi bulir padi sehingga gabah yang tumbuh pada saat masa tanam kian banyak. Namun, kuota pupuk bersubsidi malah dipangkas dengan alasan berkurangnya anggaran.
Bila sebelumnya dalam setahun dia mendapatkan kuota 112 ton, dalam 5 tahun terakhir jumlahnya terus merosot, dan kini tinggal 18 ton setahun. Bahkan, dia mendapatkan kabar kalau tahun depan tidak ada lagi kuota pupuk subsidi ini untuk petani.
Oleh karena itu, petani seolah dipaksa menggunakan pupuk non subsidi, yang harganya sangat jauh berbeda. Di pasaran harga satu sak ukuran 50 kilogram pupuk SP36 subsidi sekitar Rp125.000, sedangkan pupuk non subsidi bisa di atas Rp300.000, dan selisihnya ada yang sampai Rp200.000 per sak.
Akibatnya petani harus merogoh kocek lebih dalam untuk menanam padi di sawah, padahal hasil jualnya nanti juga tidak terlalu menggembirakan.
Kasus Lain
Kasus lain yang juga merugikan petani adalah maraknya peredaran pupuk palsu. Maftukin mengatakan tahun lalu terjadi kasus penjualan pupuk organik palsu oleh produsen pupuk BUMN. Seharusnya pupuk organik yang dijual itu punya dampak positif dalam meningkatkan hasil tanaman padi.
Namun, tidak disangka, pupuk organik yang dipakai petani itu tidak berdampak apa-apa dan hasilnya produksi padi mengecewakan. Tidak mau berandai-andai, sebagian petani membawa pupuk organik tadi ke laboratorium untuk diuji, dan hasilnya pupuk itu hanya mengandung tanah liat, bukan pupuk organik yang dijelaskan dalam kemasan pupuk.
“Kami buktikan ke lab dan memang hasilnya ketahuan kalau itu palsu dan hanya tanah liat. Jelas petani rugi sudah beli berton-ton pupuk hasilnya tidak ada, nah siapa yang menanggung ruginya? Petani lagi,” katanya.
Maftukin berharap keberpihakan pemerintah betul-betul direalisasikan dan jangan hanya sekadar program di atas kertas saja. Dia mencontohkan petani di Thailand, Vietnam, atau Filipina yang mendapatkan program dukungan penuh dari hulu sampai hilir dijual sebagai produk siap pakai.
Di Vietnam saja, Maftukin sampai heran bagaimana bisa beras yang dihasilkan di negara itu menjadi salah satu pasokan utama beras nasional dari impor. Harga jualnya sampai ke Indonesia juga masih kompetitif dan bersaing dengan beras lokal.
Ternyata, di negara itu petani lokal mendapatkan program bantuan mulai dari masa tanam yaitu bibit unggul, pupuk, lalu sampai ke penjualan gabah dan pengolahan menjadi beras siap konsumsi.
Tentu saja dukungan itu membuat petani tidak khawatir dalam menanam padi, sudah yakin bahwa hasil produksinya dibeli penuh pemerintah dan harga yang didapatkan juga memuaskan.
Hal serupa juga terjadi di Thailand dan Filipina. Dua negara ini punya produksi unggulan yaitu jagung yang sangat bagus. Tidak hanya di sisi tanam, tetapi sampai pengolahan ke produk konsumsi atau jagung kaleng, sudah mendunia.
Di negara itu, bahkan pemerintahnya memanggil para warga negara yang tinggal di luar negeri, untuk pulang dan mau menjadi petani. Semua sudah disiapkan, asal mau jadi petani, beragam program dukungan sudah berjalan untuk menopang kehidupan petani menjadi sejahtera.
“Kalau begini gimana mau bersaing dengan negara tetangga, seharusnya ini jadi perhatian pemerintah karena mendorong pertanian itu harus mendukung petani, jangan malah kian dipersulit,” katanya.
Terakhir, dia menilai harga acuan pembelian gabah oleh Bulog, masih harus ditingkatkan, karena memang harga yang ditawarkan pedagang dan penggilingan milik swasta lebih menarik, yaitu sekitar Rp5.300 per kilogram.
Karena tawaran harga kompetitif itulah, banyak petani yang menjual berasnya ke pedagang dan penggilingan swasta dibandingkan Bulog.
Menurut Maftukin, hal itu sudah berjalan lama dan petani juga punya pertimbangan ingin hasil lebih baik, karena petani butuh biaya lagi untuk menanam ulang padinya.
Menurut catatan Bisnis, pada awal tahun ini pemerintah menargetkan produksi beras mencapai 4 juta ton sampai akhir tahun. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan target itu ditetapkan untuk memenuhi ketahanan pangan dan target ekspor beras.
“Mari kita sama-sama sukseskan target ini dan banjiri gudang Bulog, tapi jangan sampai gabah petani dibeli murah harus sesuai Harga Pembelian Pemerintah Rp3.700 per kilogram,” katanya pada awal Maret silam.
Sudah pasti, jika pemerintah tidak berbenah dan memerhatikan kesejahteraan petani, bukan tidak mungkin target produksi beras yang terus naik tiap tahun hanya akan jadi mimpi. Satu pihak terus berkhayal, pihak lain berjuang sendiri, untuk hidup anak dan istri. (Bisnis.com)