Total utang Indonesia sudah mencapai Rp.7 ribu triliun lebih, jangan sampai seperti Pakistan dan Srilanka

Total utang Indonesia sudah mencapai Rp.7 ribu triliun lebih, jangan sampai seperti Pakistan dan Srilanka

Dia menegaskan, jangan sampai Indonesia seperti negara Pakistan, Srilanka, Angola, Nigeria, dan Zimbabwe yang mempunyai cerita buruk karena tidak mampu membayar utang untuk pembangunan infrastrukturnya.


Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat total utang Indonesia hingga saat ini sudah mencapai lebih dari Rp7.000 triliun. Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan swasta.

Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengatakan, utang pemerintah dilakukan untuk membiayai defisit anggaran, sedangkan utang swasta oleh korporasi swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dia menjelaskan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 menyatakan total utang Pemerintah hanya mencapai Rp4.772 triliun. Namun jika menelisik data out-standing Surat Berharga Negara (SBN) posisi September 2017 sudah mencapai Rp3.128 triliun dan posisi utang Luar Negeri Pemerintah 2017 telah mencapai USD177 miliar atau Rp2.389 triliun (kurs Rp13.500).

Selanjutnya, untuk utang luar negeri swasta tahun 2017 telah tembus sebesar USD172 miliar atau sekitar Rp2.322 triliun (kurs Rp13.500).

"Besar kemungkinan belum termasuk semua utang BUMN," ungkap Enny di Kantornya, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Selain itu, untuk utang pemerintah saja, Enny mengatakan memang terus meningkat tajam sejak 2015 lalu. Di mana, peningkatan utang di klaim untuk membiayai kebutuhan belanja pembangunan infrastruktur yang saat ini dilakukan oleh Pemerintah.

"Utang pemerintah melonjak dari Rp3.165,13 triliun (2015) menjadi Rp3.466,96 triliun (2017). Peningkatan utang terus berlanjut hingga APBN 2018 pada Februari menembus angka Rp4.034, 8 triliun dan pada APBN 2018 mencapai 4.772 triliun," tukasnya.

Utang Tembus Rp4.000 Triliun, RI Jangan Sampai seperti Pakistan dan Srilanka

Ekonom Indef Rizal Taufikurahman mengatakan, dampak kebijakan infrastruktur yang dilakukan Pemerintah selama 2014-2018, produktivitasnya terlihat tidak bergeming, bahkan cenderung menurun atau justru negatif malah negatif. Dalam jangka panjang kebijakan ini cendrung negatif, hal ini terlihat dari jumlah utang pemerintah yang telah mencapai Rp4.034,80 triliun pada Februari atau meningkat 13,46% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dia menegaskan, jangan sampai Indonesia seperti negara Pakistan, Srilanka, Angola, Nigeria, dan Zimbabwe yang mempunyai cerita buruk karena tidak mampu membayar utang untuk pembangunan infrastrukturnya.

"Mereka membangun proyek infrastrukturnya lewat utang, akhirnya mereka tidak bisa bayar utang," jelasnya.

Dia mencontohkan, negara Angola dan Zimbabwe bahkan sampai mengganti nilai mata uangnya untuk bisa membayar utang. Kemudian Srilanka tidak bisa membayar utang dan harus rela memberikan pelabuhan untuk membayar utangnya.

"Khawatir Indonesia mirip-mirip. Utang untuk infrastruktur, ternyata ya kita bisa lihat nanti. Tapi infrastruktur di kita itu yang agak aneh, infrastruktur kan untuk produksi dan efisiensi, tapi tidak terjadi juga di kita. Biaya transportasi naik, transaksi naik, harga naik, inflasi juga tinggi. Artinya, memang infrastruktur ini belum bisa mendorong efisiensi," jelasnya.

Sementara itu, dia menjelaskan ada juga beberapa negara yang sukses membayar utang dan bisa dicontoh oleh Indonesia.

"Ada juga success story seperti Korea Selatan, Jepang, China. Alokasi utang untuk infrastruktur adalah sektor yang bisa mendukung langsung nilai tambah. Itulah produktif. Tapi anehnya di kita, infrastruktur dibangun tapi tidak mendorong nilai tambah di sektor tersebut. Ini yang jadi mengkhawatirkan sehingga produktivitas uang kita pertanyakan," tukasnya.(okz)

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel