Diantara pesatnya pertumbuhan sebagai kota wisata, tingkat kemiskinan Jogja tertinggi se-Jawa

Diantara pesatnya pertumbuhan sebagai kota wisata, tingkat kemiskinan Jogja tertinggi se-Jawa

Kemiskinan diduga kuat akibat lesatan pertumbuhan sektor ekonomi yang cenderung padat modal dan dikuasai investor tertentu.


Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Siapa tak kenal keindahannya. Namun siapa sangka, di balik pesona dan gigantisme kota menyimpan bopeng kependudukan luar biasa. Di antara pesatnya pertumbuhan sebagai kota jasa dan wisata, angka kemiskinan di DIY tak kalah istimewa.

Sejak tahun 2013 tingkat kemiskinan DIY tertinggi se-Jawa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2017 menunjukkan prosentase penduduk miskin di DIY sebesar 12,36 %, di atas angka nasional sebesar 10.12 %. Secara keseluruhan ada sekitar 466.33 ribu orang penduduk miskin di DIY. Sebagian besar di antaranya berada di kota.

Tingkat kesenjangan ekonomi di DIY pun tertinggi se-Indonesia. Berdasar data yang dirilis BPS, angka gini ratio di DIY meningkat dari 0,432 periode Maret 2017 menjadi 0,440 pada September 2017. Sedangkan nasional 0,391.

Potret Pembangunan Kapitalistik

Tak seperti kondisi di kota lain. Dimana pendidikan minim merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya pola pikir masyarakat yang menguatkan mata rantai kemiskinan. Di DIY, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) justru tertinggi kedua se-Indonesia setelah DKI Jakarta.


Kesadaran masyarakat akan pendidikan dan kesehatan tinggi. Angka harapan hidup orang Jogja pun paling tinggi dibandingkan daerah lainnya yakni rata-rata 74 tahun. Jauh melampaui rata-rata usia harapan hidup secara nasional yang hanya 70, 68 tahun. Lalu mengapa miskin ?

Masalah kemiskinan di DIY tak lagi tentang rendahnya pendidikan atau hambatan cara pandang masyarakatnya. Kemiskinan diduga kuat akibat lesatan pertumbuhan sektor ekonomi yang cenderung padat modal dan dikuasai investor tertentu.

Sektor yang memiliki peranan terbesar dalam perekonomian DIY tahun 2013 adalah hotel, restoran, dan perdagangan terkait sebesar 20,75%. Sementara sektor yang diharapkan mampu menyerap banyak tenaga kerja seperti industri pengolahan dan pertanian masing-masing hanya 14,45% dan 12,99%.

Kontribusi sektor pariwisata yang selama ini menjadi primadona DIY pun dipertanyakan. Hasil pembangunan hotel, mall, apartemen, dan toko-toko modern ditengarai lebih banyak dinikmati kalangan elit dan investor yang tak semuanya dari wilayah DIY. Terjadilah capital flight. Keuntungan dinikmati investor yang entah dibawa kemana.

Di samping itu, pengembangan wilayah pedesaan menjadi perkotaan akibat limpahan dari wilayah perkotaan Yogyakarta terus terjadi. Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan, industri, dan sektor jasa di wilayah pinggiran kian tak terelakkan. Lahan pertanian makin sempit.

Tugu Jogja

Kini seorang petani hanya menggarap lahan dengan luas tak lebih dari dua ribu meter persegi. Hasil pertanian yang dipanen 3-4 bulan sekali hanya menghasilkan nominal sekitar Rp 2 juta yang tidak cukup menghidupi keluarga.

Di sisi lain, tidak ada kebijakan tata ruang pelindung petani untuk tetap mempertahankan lahannya. Petani pun terdesak menjual lahan yang dibeli oleh para pemilik modal. "Petani kerja di sektor non pertanian.

Jadi pengambil sampah," kata Krisdyatmoko dalam diskusi hasil riset Institute for Research and Empowerment (IRE) tentang "Ketimpangan Pedesaan dan Perkotaan di DIY" pada Rabu ( 24/5/2017 ).

Selain kurang sinergisnya kebijakan pembangunan dalam mengatasi kemiskinan, sistem kapitalisme yang menganakemaskan pemodal dalam roda ekonomi tak mampu menyelesaikan bahkan senantiasa menciptakan kemiskinan struktural.

Apalagi pijakan keberhasilan pembangunan hanya bertumpu pada Produk Domestik Bruto ( PDB ) yang dihasilkan negara. Bukan pada kesejahteraan tiap individu warganegara.

Oleh: Puspita Satyawati, S.Sos.
Aktivitas : pegiat Revowriter, pembina Muslimah Rindu Syari'ah Yogyakarta
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel