Sampai ke mana pun Abu Janda melaporkan Rocky Gerung, kedua manusia ini tidak akan pernah “setara”. Sebab, Gerung itu “Rocky” sedangkan Janda itu “Abu”. Keduanya menyandang perbedaan kontras dalam makna “fiksi” maupun dalam “realita”.
“Rocky” adalah “bebatuan” yang indah. Bebatuan adalah batu-batu. Segala ukuran ada di situ. Bentuknya pun berbeda-beda. Kadang warnanya juga lain-lain. Dalam keadaan terhampar luas, bebatuan biasanya menjadi lokasi alami yang memberikan inspirasi.
Kondisi alam yang “rocky” dapat juga mengambil bentuk “setengah gurun”. Yaitu, hamparan yang berbatu-batu tetapi menyediakan dasar-dasar kehidupan bagi makhluk lain seperti tumbuhan kaktus, binatang berbisa, atau bahkan binatang buas.
Tak jarang didapati banyak oase di berbagai penjuru “rocky plateau” (dataran berbatu-batu). Di sini ada kehidupan yang normal di tengah segala kesulitan. Situasi yang berlangsung terkadang tidak mudah, tetapi di situlah kecerdasan semua penghuninya tertempa. Di situlah lahir kemampuan yang ekstra. Berbagai kelebihan terbina.
Prof Gerung adalah salah seorang cendekiawan yang ditempa oleh “rocky” environment yaitu lingkungan yang keras. Dalam hal ini, keras dalam tradisi keilmuan dan akademik. Logika beliau terasah tajam.
Demikian tajamnya, pisau logika Gerung mampu membelah “abu-abu” yang beterbangan. Mohon dicatat bahwa dalam bahasa Melayu Sumatra, “abu” adalah juga “debu”. Karena itu, “abu” yang beterbangan sama dengan “debu” yang beterbangan.
Di sini pula kita temukan perbedaan yang fundamental lainnya antara Rocky dan Abu. Bebatuan tidak bisa diterbangkan oleh angin kalau bukan sekelas tornado. Tetapi, Abu bisa lenyap dengan hembusan napas bayi.
Tak terasa, kita sekarang terbawa untuk membahas Abu Janda setelah di paragraf di atas, akhirnya, tersebut juga “abu”.
Lanjut baca-2
Kebalikan dari “Rocky”, Janda itu adalah “Abu”. Dia adalah serpihan halus, sehalus tepung, yang tidak banyak gunanya atau hampir tidak ada manfaatnya. Bahkan, “abu” lebih banyak menimbulkan mudarat bagi makhluk lain, terutama manusia. “Abu” dalam arti “debu”, sangat tak disukai oleh pengendara jalan. Karena sangat menjengkelkan.
Bisa memicu penyakit. Kalau jumlah “abu” terlalu banyak, biasanya warga akan menjinakkannya dengan siaraman air. Tidak harus air bersih. Cukup air parit atau air comberan saja.
“Abu” membuat barang jualan Anda kelihatan kumuh. Membuat pembeli enggan untuk memilihnya. Kalaupun calon pembeli “terpaksa” membeli juga, biasanya dia akan meminta penjual untuk membuang abu-debu yang lekat di barang tersebut. Pada dasarnya, konsumen tak mau dengan barang yang berabu alias berdebu.
Suasana lingkungan yang “berabu” membuat orang malas beraktivitas. Warga masyarakat tidak suka berolahraga kalau lingkungan sekitar banyak “abu”. Jangankan anak gadis, para “Janda” pun tak rela juga bermain di tengah “Abu” yang beterbangan.
Karena para “Janda” juga punya standar kebersihan dan kecerdasan. Hanya “Janda” yang ber-“Abu” yang biasanya tidak masalah berada di lingkingan yang berdebu.
Jadi, Prof Rocky Gerung tidak akan pernah bisa disetarai oleh Abu Janda. Melaporkan sang Rocky ke Polisi kemungkinan merupakan upaya sang Abu untuk menyamakan kelas kecerdasannya.
Tetapi, perbedaan alamiah antara “Rokcy” dan “Abu” membuat yang satunya cuma bisa menempel ke yang lain. Artiya, di alam terbuka, “Abu” hanya bisa hinggap ke “Rocky” tanpa efek apa-apa. Begitu diguyur hujan, “Abu” akan kembali ke tanah sebagai habitatnya.
Dalam bentuknya seperti tepung, si “Abu” sebenarnya tak berani mengganggu “Rocky”. Padahal, Rocky akan dengan senang hati menyediakan celah-celah di badannya untuk dihuni oleh Abu. Haya saja, Abu selalu teringat dengan cirinya sebagai partikel kecil yang sangat rentan, mudah sirna ketika tersiram air atau terhembus angin.
Bisa memicu penyakit. Kalau jumlah “abu” terlalu banyak, biasanya warga akan menjinakkannya dengan siaraman air. Tidak harus air bersih. Cukup air parit atau air comberan saja.
“Abu” membuat barang jualan Anda kelihatan kumuh. Membuat pembeli enggan untuk memilihnya. Kalaupun calon pembeli “terpaksa” membeli juga, biasanya dia akan meminta penjual untuk membuang abu-debu yang lekat di barang tersebut. Pada dasarnya, konsumen tak mau dengan barang yang berabu alias berdebu.
Suasana lingkungan yang “berabu” membuat orang malas beraktivitas. Warga masyarakat tidak suka berolahraga kalau lingkungan sekitar banyak “abu”. Jangankan anak gadis, para “Janda” pun tak rela juga bermain di tengah “Abu” yang beterbangan.
Karena para “Janda” juga punya standar kebersihan dan kecerdasan. Hanya “Janda” yang ber-“Abu” yang biasanya tidak masalah berada di lingkingan yang berdebu.
Jadi, Prof Rocky Gerung tidak akan pernah bisa disetarai oleh Abu Janda. Melaporkan sang Rocky ke Polisi kemungkinan merupakan upaya sang Abu untuk menyamakan kelas kecerdasannya.
Tetapi, perbedaan alamiah antara “Rokcy” dan “Abu” membuat yang satunya cuma bisa menempel ke yang lain. Artiya, di alam terbuka, “Abu” hanya bisa hinggap ke “Rocky” tanpa efek apa-apa. Begitu diguyur hujan, “Abu” akan kembali ke tanah sebagai habitatnya.
Dalam bentuknya seperti tepung, si “Abu” sebenarnya tak berani mengganggu “Rocky”. Padahal, Rocky akan dengan senang hati menyediakan celah-celah di badannya untuk dihuni oleh Abu. Haya saja, Abu selalu teringat dengan cirinya sebagai partikel kecil yang sangat rentan, mudah sirna ketika tersiram air atau terhembus angin.
Lanjut baca -3
Semoga saja Janda sadar dengan kastanya sebagai “Abu” agar tidak salah langkah dalam menghadapi Gerung yang terbiasa dengan kondisi “Rocky”.
Asyari Usman
Penulis adalah wartawan senior(sw)
Asyari Usman
Penulis adalah wartawan senior(sw)