Satu lagi putra terbaik bangsa yang ‘dimusuhi’ di dalam negeri, menjadi orang penting di negara lain. Dia adalah dokter Terawan. Ahli terapi cuci otak ini dikontrak Jerman setelah ramai diberitakan dipecat Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Saat ini, dr Terawan dikabarkan masih berada di Jerman untuk memenuhi undangan Rumah Sakit Krankenhaus Nordwest Jerman. Di rumah sakit terkenal itu, dr Terawan akan mengenalkan metode cuci otak.
Dr Terawan akan menjalani riset bersama para dokter di Jerman. Ia akan membuktikan kepada dunia bahwa dokter Indonesia juga bisa bersaing dengan dokter luar negeri.
“Sekalian menunjukkan kesejajaran ilmu orang Indonesia dengan teman-teman di Jerman. Jangan sampai kami di Indonesia hanya dianggap main ngeyel saja dan tidak ilmiah,” dr Terawan kepada media.
Dalam foto-foto yang beredar di Gup WhatsApp, tampak dr Terawan sedang menadatangani dan menunjukkan berkas nota kesepahaman dengan rumah sakit di Jerman.
Selain itu, dr Terawan juga bertemu Presiden ke-3 RI, BJ Habibie yang lebih dulu dikontrak Jerman. Ahli pesawat terbang itu dipakai Jerman setelah keahliannya kurang dihargai di dalam negeri.
Kontroversi Dokter Terawan
Sejak dua pekan lalu, media massa dihiasi berita kontroversi pengobatan ala dr Terawan. Pengobatan cuci otak dengan Digital Subtraction Angiography (DSA) untuk penderita stroke dan sumbatan di otak itu mencuat setelah IDI memberi sanksi dr Terawan. Akibatnya, sejumlah pihak yang merasakan manfaat pengobatan itu ramai-ramai membela.
Setelah gaduh, akhirnya Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menunda pelaksanaan keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang menjatuhkan sanksi pencabutan izin praktek Dr dr Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K) yang suratnya bocor pada Selasa (3/4) lalu.
MKEK sebelumnya merekomendasikan sanksi dr Terawan karena dianggap melanggar Pasal 4 dan Pasal 6 Kode Etik Kedokteran (KEK) Indonesia. Pasal 4 berbunyi ”Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”.
Sedangkan Pasal 6 berbunyi, “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat”.
Ketua Umum PB IDI Prof dr Ilham Oetama Marsis, SpOG mengatakan keputusan penundaan itu disepakati dalam Rapat Majelis Pimpinan Pusat (MPP) PB IDI yang digelar Minggu pekan lalu (8/4).
”Menunda putusan MKEK karena keadaan tertentu. Karena itu, hingga saat ini dokter Terawan masih berstatus sebagai anggota PB IDI,” terangnya dalam jumpa pers, Senin (9/4).
Selanjutnya, PB IDI akan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Health Technology Assessment (HTA) untuk menguji metode pengobatan yang dilakukan dr Terawan. HTA merupakan lembaga di bawah Kemenkes yang bertugas menguji teknologi pengobatan kesehatan terbaru.
Sementara itu, Ketua MKEK, dr Prijo Sidipratomo mengingatkan rekomendasi MKEK itu bersifat rahasia.
”Wah jangan itu (dibocorkan), siapa yang bocorkan, itu kan bersifat rahasia,” terangnya saat dikonfirmasi INDOPOS (Grup Jawa Pos/pojoksatu.id), Jumat (13/4). Prijo mengatakan, setelah dikeluarkan, rekomendasi itu sudah diserahkan ke IDI.
”Sekarang ada pada IDI. Tapi IDI kan sudah membicarakan kepada Kemenkes dan konsil, mau ditangani itu, saya persilahkan saja,” kata Prijo juga. Meski demikian, itu tidak mengubah keputusan pihaknya yang mengeluarkan rekomendasi atas pelanggaran etik oleh dr Terawan tersebut.
”Kalau kita sih tidak berubah. Eksekusinya mereka (IDI, Red) mau lakukan apapun juga silahkan saja. Yang jelas, keputusan etik berbeda dengan keputusan yang diambil Kemenkes, pemerintah dan sebagainya. Jadi kita tidak menyinggung itu, tidak menyinggung substansi, pelayanan maupun akademik,” cetus Prijo juga.
Keputusan MKEK dan IDI itu nampaknya tak mempengaruhi jabatan yang disandang dr Terawan sebagai Kepala RSPAD Gatot Subroto. Pasalnya, dokter berpangkat mayor jenderal itu masih menjabat kepala rumah sakit di matra angkatan darat tersebut.
”Kalau jabatan itu kan terserah TNI AD. Yang kita bicarakan ini persoalan fungsinya dia sebagai dokter. Kalau pekerjaan manajerial sih itu apakah terkait atau tidak tergantung institusinya. Kalau Angkatan Darat menganggap tidak ada kaitannya ya silahkan,” paparnya Prijo lagi.
Dokter Terawan Tetap Jabat Kepala RSPAD Gatot Subroto
Hingga kini, dr Terawan masih menjabag Kepala RSPAD Gatot Subroto. ”(Terawan) masih Kepala RSPAD, tidak pengaruh putusan MKEK, karena jabatan Kepala RSPAD adalah struktur di lembaga militer,” terang Kabag PAM RSPAD Gatot Subroto, Letkol Harja Sujarto saat ditemui di RSPAD Gatot Subroto, Jumat (13/4).
Sayangnya, dr Terawan tidak berada di rumah sakit saat hendak diwawancarai. Dia tengah bepergian urusan dinas ke luar negeri.
”Sudah beberapa hari ini (dr Terawan, Red) ada di Jerman, mungkin baru pulang pada 17 April nanti,” ujar seorang petugas RSPAD Gatot Soebroto kepada INDOPOS.
Berdasarkan pengakuannya seorang mantan pasiennya, dr Terawan memang tengah memenuhi undangan Rumah Sakit Krankenhaus Nordwest Jerman.
Undangan itu untuk mengenalkan pengobatan metode cuci otak tersebut. Dikabarkan dr Terawan akan melakukan riset bersama dengan sejumlah dokter di Jerman.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigjen Alfret Denny Teujeuh saat dikonfirmasi terpisah belum memberikan komentar terkait mengenai adanya kontrak dr Terawan dengan sebuah rumah sakit ternama di Jerman tersebut.
Metode DSA Sudah Dikenal Lama
Sementara itu, Dr. dr. Tauhid Nur Azhar, S.Ked, M.Kes Board of Honor Neuronesia Community mengatakan kalau metode pengobatan cuci otak itukan istilah awam. Dia mengatakan, sebenarnya teknik DSA sudah ada lama. ”Saya kira sejak tahun 1982, DSA sudah diperkenalkan,” terangnya.
Dia juga memaparkan, pada prinsipnya sih mirip dengan CT Scan. Cuma istimewanya DSA itu diberi tinta radioaktif agar bisa dilihat sampai ke pembuluh-pembuluh yang kecil di otak.
”Itu realtime, realtime itu bukan hanya foto tapi bisa diikuti kaya video. Jadi kaya orang main videogame gitu,” ucap juga dosen Telkom University tersebut.
Dia juga mengaku, sejumlah rumah sakit di Jakarta berlomba-lomba bikin DSA. ”Kelebihan dr Terawan, dia tidak sekadar menjadikan mengecek atau mendiagnosa penyakit, tapi juga untuk mengobati,” ungkapnya juga.
Caranya gimana? dr Terawan menemukan penyumbatan, atau penyempitan dan sebagainya, dia melakukan intervensi. Caranya dia memasukkan zat yang sifatnya bisa meluruhkan sumbatan tadi. ”Dan juga keahlian dia juga lah ya,” paparnya lagi.
Dalam disertasinya, dr Terawan menjelaskan, bahwa daerah yang mengalami kerusakan infak karena penyumbatan dengan teknik tertentu bisa mendapatkan darah lagi dan sembuh.
”Nah, kelebihan dia (dr Terawan) menemukan dosis zat anti penggumpalan, zat peluruh heparin yang tepat itu kan dosisnya harus jelas. Dan dia bisa membantu dengan tehniknya tadi menggunakan alat bantu. Sehingga ini kaya sinergi,” paparnya lagi.
Akhirnya, pengobatan itu disebut orang awam metode Terawan. ”Padahal kalau dia sendiri (dr Terawan, Red) mengatakan, pengembangan DSA. Kalau disinikan biasa suka gitu yah, mungkin mendapat tegurannya karena dianggap mengiklankan diri sendiri. Kalau kita kan gampangnya menyebut metode Terawan,” katanya lagi.
Benarkah bisa menyembuhkan? ”Dari beberapa kasus dan bisa didapat PDF disertasinya, kalau nggak salah Unhas buka kok. Ada evidence base-nya. Artinya dia tidak bicara pengakuan ya, bahwa daerah yang semula sudah tidak mendapatkan darah, mendapatkan aliran darah lagi. Itu kan ada fotonya. Saya nggak belain siapa-siapa ya. Tapi kalau dikatakan dia nggak ada bukti itu juga nggak benar,” katanya juga.
Tapi, ujar Tauhid lagi, kalau teman-teman dari sisi lain mengatakan nggak etis, mungkin komunikasinya. ”Kalau menurut saya, mbok ya duduk gitu loh, ngobrol. Nggak usah langsung statement di media. Tersebar juga suratnya. Padahal kan itu surat internal organisasi,” tandasnya.
Kemenkes Belum Bersikap
Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek mengatakan Kemenkes dengan seksama dan hati-hati mencermati dan menelaah solusi kasus dr Terawan. Karena telah diketahui berawal dari masalah etik yang berlaku internal profesi kedokteran kemudian berkembang menjadi perbincangan dan perhatian luas publik.
”Dalam mencari solusi terbaik atas kasus ini, Kemenkes berpegang pada peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien yang mengutamakan kebutuhan, manfaat dan keselamatan pasien,” jelas Menkes Nila dalam rilis yang diterima INDOPOS, Selasa (10/4).
Selain itu, berdasarkan siaran pers IDI pada 9 April 2018, PB IDI merekomendasikan penilaian terhadap terapi dengan metode DSA dilakukan oleh Tim Health Technology Kemenkes. Agar mendapatkan informasi yang lebih jelas, Kemenkes menunggu penjelasan lengkap secara resmi melalui surat atau secara langsung atas rekomendasi hasil rapat PB IDI tersebut.
Perlu diketahui bahwa Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assestment/HTA), Kemenkes bertugas melakukan kajian dan penilaian teknologi kesehatan terkait program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam rangka kendali mutu dan kendali biaya menghadapi universal health coverage (UHC).
Perlu Dirjen Pengobatan Komplementer
Begitu banyak inovasi anak negeri dalam sejumlah bidang yang tidak akui di negaranya sendiri. Tapi anehnya, temuan itu diapresiasi oleh negara asing (selengkapnya liat grafis).
Ilmuan Indonesia, Dr Warsito Purwo Taruno yang juga penemu metode pengobatan kanker dengan cuci otak ini menuturkan, secara pengobatan metode DSA sebenarnya telah diatur dan diperbolehkan di Tanah Air oleh pemerintah.
Yakni terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1109/MENKES/PER/IX/Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan. Kata dia, dalam regulasi ini telah diatur cara, metode dan teknologi baru yang belum memenuhi standar baku pengobatan konvensional.
Dicontohkannya pengobatan tersebut berupa jamu, alat kesehatan elektromedik dan juga pengobatan tradisional.
”Syaratnya dokternya cukup melakukan registrasi sebagai dokter dan tenaga kesehatan pengobatan komplementer. Jadi sebenarnya pengobatan kami ini sudah lebih dulu ada, namun ini tidak diketahui banyak dokter dan IDI sendiri. Sehingga saat metode ini sedang mau dikembangkan, malah dijadikan kontroversi,” tuturnya.
Dalam penilaian Warsito, munculnya kontroversi metode cuci otak ini disebabkan regulasi itu belum popular kalangan medis akibat kurangnya sosialisasi. Padahal, kata dia, metode ini dapat menjadi jembatan untuk mendorong riset kesehatan dalam negeri secara efektif.
Ditambahkan dia juga, pengobatan komplementer yang dilakukan dr Terawan dan dirinya itu telah banyak dikembangkan di Jerman, Jepang dan Amerika Serikat dalam menangani penyakit stroke hingga kanker.
”Di negara itu menggunakan aturan pengobatan komplementer. Asal konsisten mengikuti regulasi ini, saya kira bisa diakomodasi. Tapi aturan itu sudah berumur 10 tahun lebih dan seperti terkubur. Kalangan medis harus legowo dengan diberlakukannya aturan itu, kalau perlu dibuat Dirjen Pengobatan Komplementer di Kemenkes seperti yang pernah digaungkan,” pungkasnya. (p1)