Para penebar fiksi yang bisa duduk manis dibalik topeng yang mereka pakai

Para penebar fiksi yang bisa duduk manis dibalik topeng yang mereka pakai

Ketika Rocky Gerung bertanya apakah kitab suci itu fiksi atau fakta. Semua terdiam. Tidak ada satu orang pun yang berani menjawab. Professor ahli filsafat itu kemudian melanjutkan, kitab suci adalah fiksi


Adalah Rocky Gerung, Professor Filsafat yang tampil sebagai nara sumber pada talkshow Indonesia Lawyer Club (ILC) yang disiarkan Selasa 10 April 2018 oleh tvOne. Pada kesempatannya berbicara, ia mengemukakan penilaiannya tentang perbedaan yang mencolok antara fiksi dan fiktif dari sudut pandang ilmu yang dikuasainya.


Fiksi itu baik, yang buruk itu fiktif, Rocky Gerung.

Menurut Rocky Gerung, fiksi bukan sesuatu yang buruk. Sebab fiksi adalah sebuah energi yang mengaktifkan imajinasi. Fiksi bisa menjadi sebuah destinasi yang dipercayai lebih daripada sebuah prediksi.

Sementara fiktif adalah sebuah sesuatu yang diada-adakan atau sebuah kebohongan. Sebuah keburukan yang bersifat faktual.

Aktifis Dua Wajah dan Kasus Penistaan Agama
Ketika Rocky Gerung bertanya apakah kitab suci itu fiksi atau fakta. Semua terdiam. Tidak ada satu orang pun yang berani menjawab. Professor ahli filsafat itu kemudian melanjutkan, kitab suci adalah fiksi. Sebab berisikan untaian harapan yang membuat manusia yang meyakininya mengeluarkan imajinasi positif berupa kepercayaan kalau akan ada kenyataan dibalik fiksi yang diberikan didalam sebuah kitab suci.

Pernyataan Rocky Gerung ini seperti sebuah sulutan api yang ditunggu-tunggu. Terutama dari para aktifis media sosial atau pun para politisi yang selalu menampakkan topeng berbeda untuk setiap kasus yang sama.

Betapa tidak, para aktifis dan politisi yang diam dan bahkan terang-terangan membela para penista yang jelas-jelas menghina dan melecehkan kitab suci dan ajaran agama mayoritas negeri ini, kini bermunculan ibarat pahlawan. Mereka seolah menemukan moment yang tepat untuk muncul, sebagai pembela kebenaran, sebagai seorang penegak keadilan. Sebagai seorang pahlawan pembela kitab suci.

Seorang pahlawan yang fiktif yang hanya muncul dan bergerak untuk mencegah terbukanya tabir fiksi fiktif yang selama ini ditutup-tutupi.

Politisi Dua Wajah dan Air Mata Kenaikan BBM

Kontradiksi fiksi dan fiktif tidak hanya sebatas cerita hari ini dan kemaren. Konon juga, pada jaman dahulu kala ketika ada sebuah rejim berkuasa hendak menaikkan harga bahan pokok yang substantif diperlukan masyarakat. Para pelakon ini menitikkan air mata.

Mereka menangis. Mereka emosi. Mereka tunjukkan didepan kamera televisi bahwa tangisku adalah tangismu. Mereka kembangkan sebuah fiksi bahwa lukaku adalah lukamu. Fiksi yang cantik lagi menarik. Karena tidak hanya berisikan cerita-cerita harapan berupa tulisan tapi juga gambar kesederhanaan yang memukau.


Negeri ini kaya akan sumber daya alam dan manusianya. Namun masyarakat yang hidup diatasnya masih bergelut dijurang kemiskinan. Penguasaan dan pengeloaan sumber daya alam oleh asing adalah isu utama. Sebab hal itu akan beranak-pinak menjadi permasalahan sekunder yang tidak kalah pentingnya.


Ada yang dulu pernah berwacana memberikan fiksi akan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru ketika menjadi pelakon sebuah wayang. Juga ada yang memberikan fiksi tidak akan bagi-bagi kursi saat berada di istana megah.

Ada yang kemarin pernah melemparkan fiksi berupa berhenti mengimpor daging. Bahkan ada juga yang berani menuliskan fiksi tentang pembelian Indosat yang tergadai ke Sungai Puar.

Ada banyak fiksi yang ditebar. Ada banyak energi imajinasi yang berhasil dikumpulkan. Energi yang sangat besar dan luar biasa. Karena fiksi yang ditebar begitu mempesona.

Syahdan, dengan energi imajinasi fiksi para peyakinnya lah, para penebar penebar fiksi itu bisa duduk bermegah-megah.

Pembulian Fiksi Oleh Politisi Dua Wajah

Rocky Gerung berujar bahwa fiksi itu adalah sesuatu yang diyakini akan menjadi kenyataan. Namun ketika destinasi sebuah fiksi pada akhir waktu yang diharapkan tidak menjadi kenyataan, maka fiksi itu menjadi fiktif. Disini terjadi pembulian definisi fiksi.

Dalam dunia politisi dua wajah pembulian ini seperti wajar-wajar saja. Sebab fiksi yang dikembangkan adalah cerita tentang bunga penarik hati agar banyak serangga yang datang untuk mengaguminya. Bunga yang berwarna indah terang yang begitu membahagiakan setiap mata memandang.

Namun bagi para serangga dan kumbang, bunga bukan hanya untuk dipandang. Bunga juga untuk dibaui, dirasa, dan dinikmati sari madunya.

Disinilah letak pembuliannya. Konon, para penyebar fiksi mengetahui dengan sadar bahwa bunga yang disebar bukan bunga yang bisa dibaui, dirasa, dan dinikmati baunya. Karena ia hanyalah bunga plastik hiasan pemanis bibir politisi dua wajah.

Para politisi dua wajah ini sesungguhnya berdosa dua kali. Pertama, membuat definisi fiksi menjadi buruk. Orang-orang akan mengkonotasikan fiksi dengan fiktif. Suatu hal yang bertolak belakang sesungguhnya, akan tetapi perilaku para politisi dua wajah ini membuat citra fiksi menjadi rendah dan nista. Kedua, membuat serangga dan para kumbang kecewa.

Bagi yang masih memiliki energi, mereka akan kembali terbang mencari penebar fiksi lain dan berharap akan ada bunga secerah dan seindah fiksi yang diberikan. Bagi yang tidak memiliki energi lagi, mereka hanya bisa meratap, setelah itu mati.

Sungguh, menyadarkan politisi dua wajah ini sangatlah sukar bila tidak boleh dikata mustahil. Sebab mereka bisa diibaratkan penebar fiksi fiktif. Penebar fiksi bohong. Mereka yang tidak takut akan dosa. Mereka tidak memiliki imajinasi untuk percaya adanya sebuah fiksi yang diberikan Sang Pencipta bahwa sorga dan neraka itu ada. Sebab mereka hidup hanya untuk dunia. Setelah itu fana.
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel