Akhir-akhir ini, berbagai media baik cetak maupun elektronik ramai membincangkan respon pro dan kontra terhadap isi pidato Prabowo Subianto (Ketum Partai Gerindra). Respon masyarakat dari berbagai lapisan dan kalangan tertuang melalui berbagai sarana yang mungkin untuk mereka gunakan.
Kepekaan umat yang ditunjukkan dengan cepatnya mereka menanggapi apa yang ada dan terjadi di sekitarnya sebenarnya merupakan bagian dari bentuk kepedulian mereka terhadap carut-marutnya kondisi negeri tercinta ini, yang konon orang bilang tanah kita tanah surga.
Seperti diketahui, Prabowo mengatakan Indonesia mungkin bubar pada 2030 jika mengacu kepada buku fiksi ilmiah berjudul Ghost Fleet: A Novel of the Next World War karya P.W. Singer and August Cole. Pernyataan dia viral setelah diunggah di akun Twitter dan Facebook resmi Partai Gerakan Indonesia Raya.
Prabowo menilai Indonesia mungkin bubar lantaran elite Indonesia saat ini tak peduli, meski 80 persen tanah di Indonesia dikuasai 1 persen rakyat. Mereka juga dinilai abai saat sebagian besar kekayaan Indonesia diambil pihak luar.(tempo.co).
Bahkan dikatakannya, "Jangan-jangan karena elite kita yang goblok atau menurut saya campuran. Sudah serakah, mental maling, hatinya beku, tidak setia pada rakyat. Mereka hanya ingin kaya".
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo merasa sedih, prihatin dan terpukul atas penetapan tersangka 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia meminta kasus ini dapat menjadi pelajaran serupa di daerah lainnya.
Fakta dan berita terkait fenomena praktik korupsi dan gratifikasi yang melibatkan pejabat seakan sudah menjadi menu santapan kita sehari-hari. Masyarakatpun muak dibuatnya. Upaya menyelesaikan melalui jalur hukumpun tak kunjung menuai hasil. Alih-alih menjadikan mereka jera, yang terjadi justru persoalan ini semakin menggurita.
Memahami Akar Masalah
Adalah hal yang lumrah, maraknya kasus ini bahkan dilakukan secara berjamaah terlahir berkat sistem demokrasi yang tegak di atas pondasi kapitalis sekuler. Wajah asli demokrasi yang sejatinya tidak bisa dipisahkan dari azas yang mendasarinya semakin nampak.
Polesan cantik di wajahnya dan kemasan apik pembungkusnya semakin tak mampu menjadikannya menarik, namun yang ada justru semakin tercium kuat bau tak sedapnya dan terlihat jelas rupa buruknya.
Faham kapitalis sekuler yang menjadi dasar pijakannya sedikitpun takkan pernah rela agama ini (Islam) ikut serta dalam mengatur urusan kehidupan.
Sistem demokrasi yang bertumpu pada pemisahan agama dan kehidupan menjadikan Assiyaadah li Arra'iyyah (kedaulatan ada di tangan rakyat) pasti akan menghasilkan kerusakan (fasad), pejabat yang bobrok, tidak amanah, dan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan serta memperkaya diri.
Tiadanya kesadaran politik pejabat akan tugasnya untuk mengurusi umat, mengabaikan akal sehat demi duduk nikmat di kursi kekuasaan.
Oleh karena itu, sistem demokrasi memberikan dampak yang signifikan terhadap korupsi. Bisa kita lihat para calon anggota dewan baik DPR/D mengeluarkan banyak dana kampanye agar terpilih. Setelah terpilih maka ia akan mencari cara untuk mengembalikan uang yang telah keluar baik secara legal maupun ilegal.
Cara legal dilakukan dengan membuat sejumlah peraturan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Bisa kita lihat pula pilkada di daerah-daerah semakin menambah suram potret Indonesia yang telah kelam dengan korupsi.
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan".(QS4. An Nisaa'(4) : 65).
Oleh : Sayyida Marfuah (MO)