Sempitnya lapangan pekerjaan dan makin bertambahnya pengangguran di era Mukidi

Sempitnya lapangan pekerjaan dan makin bertambahnya pengangguran di era Mukidi

Mereka yang bekerja pun tidak lepas dari masalah, baik karena upah yang tidak mencukupi kebutuhan hidup minimum maupun kekhawatiran terkena PHK.


Pemerintah kembali mengatur perizinan penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Hal itu ditandai dengan penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang penggunaan TKA oleh Jokowi.

Dalam Perpres itu disebutkan, penggunaan TKA dilakukan oleh pemberi kerja TKA dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu yang dilakukan. Hal itu memperhatikan kondisi pasar tenaga kerja dalam negeri.

Setiap pemberi kerja TKA, menurut Perpres ini, wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. Bila jabatan dimaksud belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia, jabatan itu dapat diduduki oleh TKA.

Izin masuk TKA di tengah beratnya problem ekonomi termasuk pengangguran yang merajalela menunjukkan ketidakberpihakan penguasa pada hak-hak rakyat. (sumber berita lengkapnya klik disini)

Indonesia sendiri hingga kini memiliki lebih dari 9 juta pengangguran yang membutuhkan pekerjaan. Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jateng, Wika Bintang menyebutkan, hingga 2017, 48 persen jumlah pengangguran di Jateng adalah lulusan SMA sederajat, 24 persen lulusan SD, 21 persen lulusan SMP, dan sisanya lulusan D3 dan S1.

Mereka yang bekerja pun tidak lepas dari masalah, baik karena upah yang tidak mencukupi kebutuhan hidup minimum maupun kekhawatiran terkena PHK.


Banyak kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat dan menimbulkan pengangguran baru, Menurut Menakertrans, kenaikan BBM sekitar 108% akan menambah pengangguran 1 juta orang; begitu juga kebijakan ekspor rotan batangan dan impor beras.

Kenaikan harga BBM sebesar sebesar 29% berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia. Wilayah perkotaan terkena dampak yang lebih besar dari wilayah pedesaan. Kondisi ini juga menyebabkan meningkatnya kemiskinan.

Kenaikan harga BBM tersebut juga berdampak terhadap ekonomi makro, seperti, pertumbuhan (PDB riil, ekspor dan impor) stabilitas (inflasi dan daya saing) serta pemerataan (transfer agregate ke pemilik ,modal, tanah dan tenaga kerja).

Kebijakan Pemerintah yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi bukan pemerataan juga mengakibatkan banyak ketimpangan dan pengangguran. Banyaknya pembukaan industri tanpa memperhatikan dampak lingkungan telah mengakibatkan pencemaran dan mematikan lapangan kerja yang sudah ada.

Dalam sistem ekonomi kapitalis muncul transaksi yang menjadikan uang sebagai komoditas yang di sebut sektor non-real, seperti bursa efek dan saham perbankan sistem ribawi maupun asuransi. Sektor ini tumbuh pesat. Nilai transaksinya bahkan bisa mencapai 10 kali lipat daripada sektor real.

Pertumbuhan uang beredar yang jauh lebih cepat daripada sektor real ini mendorong inflasi dan penggelembungan harga aset sehingga menyebabkan turunnya produksi dan investasi di sektor real. Akibatnya, hal itu mendorong kebangkrutan perusahan dan PHK serta pengangguran. Inilah penyebab utama krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1997.

Peningkatan sektor non-real juga mengakibatkan harta beredar hanya di sekelompok orang tertentu dan tidak memilki konstribusi dalam penyediaan lapangan pekerjaan.

Ilustraasi foto Twitter
Tulisan hasil rangkuman dari bebarapa berita online.
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel