Kekayaan suatu bangsa sesungguhnya terletak pada Intellectual property. (hak milik intelektual) Yakni, sumber daya manusia yang mahir di bidang sains dan teknologi. Hal ini menjadi salah satu faktor utama kemajuan suatu bangsa.
Mereka adalah para ilmuwan yang memiliki kepakaran dalam teknologi industri berat. Sebut saja teknologi infrastruktur, pangan, otomotif, kesehatan, pendidikan, militer, pertanian, transportasi, IT dan sebagainya.
Tentunya kita sangat mengharapkan tanah air ini kaya akan ilmuwan yang dapat berkontribusi memajukan bangsa. Bukannya tak pernah ada, seringkali kenyataannya mereka ibarat tunas yang baru saja mencuat ke permukaan namun sudah buru-buru dicerabut paksa.
Seperti kasus yang baru saja terjadi, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dikabarkan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh Kepala Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Mayjen TNI dr Terawan Agus Putranto.
Pasalnya, penemuan teknik pengobatan barunya yang di klaim belum diuji kebenarannya dan dugaan hal itu dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Sedangkan di sisi lain, para pasiennya yang sebagian juga merupakan pejabat dan selebriti papan atas merasa puas dengan pengobatan yang dilakukannya.
Indonesia merupakan negara berkembang. Sepanjang status itu melekat padanya, maka selama itu pula ia berada dibawah dikte negeri adidaya yang saat ini berkuasa memimpin peradaban dunia.
Fakta kesekian kalinya nasib anak bangsa dengan inovasinya yang out of the box namun dihambat oleh negara, terus bergulir hingga kini. Kebijakan kapitalis demokrasi lebih mengutamakan kepentingan bisnis korporasi daripada kemajuan bangsa dan peningkatan kualitas hidup warganya.
Menolak lupa pada fakta sejarah saat Indonesia krisis keuangan. IMF menjadi biang kerok matinya industri penerbangan Indonesia. Di dalam nota butir-butir kesepakatan (letter of intent) yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998, pemerintah/APBN dilarang menggelontorkan dana untuk IPTN (sekarang PTDI).
Tertulis bahwa Indonesia tak memiliki hak untuk memproduksi pesawat terbang secara mandiri. Hal ini bukan karena Indonesia tak memiliki pakar yang mumpuni. Hanya saja bibit-bibit unggul ini dibonsai keahliannya berkreasi dan berinovasi menelurkan produk teknologi.
Ketika penemuan para ilmuwan tersebut mengganggu bisnis kapitalis besar. Juga selama ada ancaman yang bisa menggoyahkan eksistensi kekuasaan suatu perusahaan, maka akan secepatnya diberangus.
Sebelum kasus Dokter Terawan ini, pernah terjadi fakta yang serupa seperti inovasi mobil listrik hasil karya Ricky Elson dan juga penemuan rompi anti kanker oleh Doktor Warsito. Penolakan ini membuat Warsito memutuskan hengkang dari Indonesia menuju Warsawa, Polandia.
Jika kita menyimak bangsa yang maju seperti negeri-negeri di Eropa dan Jepang contohnya. Hal apa yang mendorong kemajuan mereka? Yakni adanya integrasi antara skill and knowledge. Sejalannya kecakapan knowledge dengan kemahiran skill akan melahirkan sumber daya manusia yang handal.
Wajar saja ketika melihat kekayaan Indonesia yang melimpah ruah namun tak mampu dikelola secara mandiri tanpa bergantung pada Asing dan Aseng. Disebabkan tak terfasilitasi kualitas anak bangsa yang mumpuni dalam suatu bidang teknologi. Sistem pendidikan turut pula berkorelasi tak sejalan menerbitkan generasi yang unggul.
Fakta yang ada, tak berkesinambungan antara skill and knowledge itu membuat hasil produk pendidikannya tak maksimal. Anak didik lulusan sebuah jurusan tertentu misalnya, tak menjamin ia pun ahli dalam bidang tersebut.
Penulis: Novita Sari
Editor : Code Lab News