Buya Hamka dalam bukunya “Falsafah Hidup” mengutip fabel Minang tentang singa tua dan kancil yang cerdik. Sang singa tua yang sudah tidak bisa kemana-mana, apalagi berburu, sedang duduk di muka gua yang menjadi rumahnya.
Saat seekor kancil lewat, sang singa dengan wajah ramah menawarkan untuk mampir. Namun si kancil cerdik ini cukup waspada. Dia mendapati di sekitar rumah sang raja hutan, banyak ditemukan jejak telapak kaki kancil yang masuk, tapi tidak ada telapak kaki yang keluar. Tanpa banyak kata, si kancil berlalu meninggalkan singa.
Hikayat cerita rakyat Minang ini menjadi relevan dengan dua peristiwa politik yang dalam beberapa pekan ini terjadi. Pertama adalah pembocoran pertemuan antara Prabowo dengan Presiden Jokowi. Kedua dibocorkannya pertemuan antara Tim 11 Persaudaraan Alumni (PA) 212 dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor.
Dilihat dari konteks kenegaraan, dan semangat yang diusung oleh Jokowi, tawaran menjadikan Prabowo sebagai cawapresnya “baik-baik” saja. Seperti dikatakan Presiden, untuk mencegah perpecahan antar-anak bangsa seperti pernah terjadi pada Pilkada DKI 2017.
Begitu pula halnya pertemuan antara para tokoh umat yang tergabung dalam elemen PA 212, tentu sangat bagus. Penguasa (umaro), dengan para ulama, memang harus menjalin silaturahim yang baik untuk kemaslahatan umat.
Apalagi akibat Pilkada DKI 2017 hubungan antara pemerintahan Jokowi dengan umat, sangat tidak kondusif. Banyak ulama yang dikriminalisasi dan tersandera kasus hukum. Jadi seharusnya pertemuan tersebut adalah sebuah forum yang baik.
Masalahnya menjadi berbeda ketika pertemuan-pertemuan yang bersifat “rahasia” itu, dengan sengaja kemudian dibocorkan kepada publik. Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy), menyampaikan bahwa Prabowo dua kali bertemu Jokowi dan sangat berminat, bahkan antusias menjadi cawapres Jokowi.
Seperti ditulis wartawan senior John McBeth, ketika bertemu dengan Luhut di sebuah rumah makan Jepang di Grand Hyatt, Prabowo kembali menyatakan kesediaannya menjadi cawapres. Syaratnya asal mendapat jatah mengontrol militer dan tujuh kementrian. Kabar tersebut seperti ditulis McBeth berasal dari bocoran seseorang yang sangat mengetahui pembicaraan Luhut dengan Prabowo.
Dua bocoran tersebut tentu punya maksud dan agenda politik tertentu. Prabowo secara resmi sudah menerima mandat sebagai capres Partai Gerindra. PKS sebagai mitra koalisi Gerindra juga sudah menyatakan mendukung pencalonan Prabowo.
Bila kemudian ternyata di belakang layar Prabowo melakukan penjajakan untuk menjadi cawapres Jokowi, itu merupakan sebuah bentuk pengkhianatan. Kalau toh Prabowo akhirnya maju menjadi capres, mitra koalisi, maupun pemilih bisa curiga. Dia maju hanya untuk kalah. Dia kongkalikong dengan Jokowi. Kredibilitas Prabowo menjadi hancur. Muncul ketidakpercayaan publik kepadanya.
Nasib yang sama juga bisa dialami oleh PA 212. Pertemuan yang semula disepakati tertutup itu, dua hari kemudian bocor ke media. Foto yang beredar tanpa penjelasan resmi itu segera menimbulkan spekuasi. Banyak umat yang marah dan mengutuk pertemuan tersebut.
Politisi PDIP Eva Sundari segera menggorengnya di media. Dia menyebut PA 212 sudah pecah. Tim 11 PA 212 yang menemui Jokowi adalah mereka yang sudah paham, Jokowi adalah orang baik yang bekerja keras untuk bangsa dan negara.
Fakta munculnya foto Tim 11 bertemu Jokowi, dan pembentukan opini di media, jelas dimaksudkan untuk memberi kesan bahwa para pentolan alumni 212 telah merapat dan mendukung Jokowi.
Targetnya jelas menimbulkan ketidakpercayaan umat terhadap para pentolan 212, dan para ulama yang terlibat. 212 adalah gerakan umat yang berhasil menumbangkan Ahok di Pilkada DKI 2017. Setelah Ahok berhasil ditumbangkan, target berikutnya adalah Jokowi. Mereka menjadi lawan politik Jokowi.
Mengapa Prabowo dan PA 212 yang mejadi target? Jawabannya cukup jelas. Kendati elektabilitasnya masih rendah, saat ini penantang terdekat Jokowi adalah Prabowo. Sementara 212 adalah elemen umat Islam yang selama ini paling gigih menentang Jokowi.
Gerakan #2019GantiPresiden yang membesar dengan cepat, bisa dipahami bahwa semangat dan soliditas gerakan 212 masih tetap terjaga.
Kerjasama antara Gerindra, PKS, dan PAN pernah terbukti menunjukkan keperkasaannya di Pilkada DKI. Peluang koalisi ini harus dicegah sejak dini sebelum membesar. Jadi ini adalah sebuah operasi “pembusukan.”
Siapa yang bekerja? Dalam kasus Prabowo yang bekerja secara terbuka adalah Rommy. Dia berperan menjadi destroyer merusak kredibiitas Prabowo. Sejauh ini cukup berhasil. Prabowo tidak pernah secara terbuka membantah berbagai bocoran tersebut. Hanya orang-orang dekatnya yang membantah. Itupun tidak disertai fakta yang kuat.
Sementara dalam kasus pembocoran pertemuan Jokowi dengan PA 212, pelakunya bisa diduga mereka yang berada dilingkar dalam istana, dan bisa mengakses pertemuan tersebut.
Seperti dijelaskan oleh TIM 11, pertemuan tersebut disepakati tertutup. Sebelum pertemuan telefon genggam mereka dikumpulkan, sehingga tidak memungkinkan mereka merekam atau mengambil foto.
Berbeda dengan Prabowo, Tim 11 PA 212 bergerak cepat. Mereka segera membuat jumpa pers dan press release. Bagaimana kronologi pertemuan, dan apa agenda yang dibicarakan. Target untuk memecah belah opini di kalangan alumni 212 setidaknya bisa dicegah dan diminimalisir. Kalau Jokowi dan timnya salah mengelola, bisa-bisa malah berbalik. Perlawanan terhadap Jokowi bisa kian mengeras.
Nah sekarang tugas Jokowi untuk menjelaskan kepada publik, khususnya alumni 212. Siapa yang membocorkan foto tersebut, dan apa tujuannya? Sebab bila tidak segera dijelaskan, akan sangat merugikan Jokowi. Orang menjadi takut bertemu dengan Jokowi, apalagi berbicara hal-hal yang bersifat rahasia. Salah-salah akan kembali dibocorkan.
Mereka takut nasibnya sama seperti kancil yang masuk ke rumah singa tua, dan tidak pernah bisa keluar lagi.
Oleh : Hersubeno Arief