Kasus Freeport, Dimana ‘Sang Brutus’ Ginandjar Kartasasmita Seakarang ?

Kasus Freeport, Dimana ‘Sang Brutus’ Ginandjar Kartasasmita Seakarang ?

Bagi para pengkhianat, Brutus adalah nabi dan sumber inspirasi. Kisah Brutus mungkin saja telah mengispirasi Ginandjar dkk


Cuplikan berita :

Indonesia Akan Kalah Bersengketa dengan Freeport;

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, mengatakan Indonesia tidak bisa berbuat banyak mengenai kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia yang berafiliasi dengan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, Amerika Serikat.

Menurut Mahfud, Indonesia tidak bisa memutuskan secara sepihak kontrak karya tersebut. Hal ini dikarenakan secara hukum internasional, Indonesia akan kalah.

"Itu menyangkut kontrak. Tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Secara sengketa internasional, kita kalah," ujar Mahfud saat diskusi nasional 'Refleksi Pelaksanaan Hukum dan Politik 15 Tahun Perjalan Reformasi', di Jakarta, Sabtu (25/5/2013). (tribunnews)

Catatan Video pernyataan Mahfud MD di ILC TVone



Salamuddin Daeng: Ginandjar Kartasasmita Biang Skandal Freeport;

Masalah saham Freeport yang melilit Indonesia saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari asal-usul kesepakatan sebelumnya, yakni Kontrak Karya di tahun 1991. Bung Karno menyebutnya 'Jasmerah,' yakni jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Apa yang terjadi saat ini adalah akibat saja dari sebab yang diciptakan di masa lalu.

Hal itu diungkapakan peneliti ekonomi politik pertambangan, Salamuddin Daeng kepada media menyikapi perkembangan negosiasi Pemerintah RI dengan PT Freeport McMoran, Rabu (3/1).

Dia menerangkan, Freeport telah lama mengincar 'membeli' Ginandjar semenjak menjabat Kepala BKPM (1985-1988). Tangan raksasa itulah yang menempatkan Ginandjar untuk jabatan lebih tinggi, Mentamben.

Setahun setelah Ginandjar Kartasasmita diangkat menjadi Mentamben oleh Presiden Soeharto, Freeport Indonesia langsung mengajukan perpanjangan kontrak mereka di tahun 1989 dan meminta untuk memasukkan situs Grasberg sebagai lokasi pertambangan mereka.

"Sebetulnya Kontrak Karya tahun 1991 sangat strategis untuk meraih kedaulatan dan kemakmuran bangsa dari sektor tambang. Karena di 1988, Freeport menemukan cadangan emas senilai 40 milliar dollar AS di Grasberg, sekitar 3 kilometer dari lokasi tambang lama Ertsberg yang dikuasai sejak 1967 dan dieksploitasi 1970," urai peneliti tambang dari Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut.

Eksponen 98: Di Mana ‘Sang Brutus’ Ginandjar Kartasasmita ?

Eksponen aktivis 98 merasa geram dengan manuver elite korup yang lepas tangan akan salah kelola negara sehingga merugikan negara dan rakyat luas. Sebagai contoh, lamban dan lemahnya wibawa negara dalam negosiasi perpanjangan izin Freeport, yang kian merugikan negara dan kepentingan rakyat yang lebih luas.


"Perpanjangan Kontrak Karya Freeport pada 30 Desember 1991 menjadi sebuah kesepakatan yang melilit negara Indonesia hingga saat ini. Ribuan triliun hilang, padahal Freeport aset strategis bangsa yang dapat menjadi modal menyejahterakan rakyat," ujar aktivis 98, Haris Rusly, melalui pesan elektronik kepada Jitunews.com, Selasa (26/12).

Dia mencatat, Ginandjar Kartasasmita selaku Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) di era Orde Baru, telah bertindak menjadi 'Brutus' yang mengkhianati negara dalam kasus Freeport dengan memberikan kemudahan perpanjangan izin di tahun 1991. Akibat dari Kontrak Karya tahun 1991 tersebut yang memungkinkan PT Freeport mempunyai landasan hukum mengajukan perpanjangan kontrak setiap saat hingga kini.

Di periode akhir Presiden Soeharto tahun 1998, Ginandjar Kartasasmita membuktikan dirinya selaku 'American Boy.' Pada 20 Mei 1998 di Kantor Bappenas, Ginandjar memimpin 14 menteri untuk mundur dari kabinet yang baru dibentuk.

Rezim Soeharto sedang oleng menghadapi multi krisis, mulai dari devaluasi rupiah, kelangkaan sembako, kerusuhan sosial, konflik elite, pertikaian internal ABRI (kini TNI/ Polri), hingga gelombang gerakan mahasiswa yang makin membesar di berbagai kota.

Ketika sejumlah menteri 'golden boy' melompat ke luar, kapal besar Orde Baru itu kehilangan keseimbangannya. Akhirnya, Pak Harto tenggelam oleh pengkhinatan orang dalam.

"Kisah Ginandjar tersebut tentu sangat menginspirasi sekaligus mengingatkan kita tentang kisah sang Brutus yang namanya abadi hingga akhir zaman. Bagi para pengkhianat, Brutus adalah nabi dan sumber inspirasi. Kisah Brutus mungkin saja telah mengispirasi Ginandjar dkk," kecam Haris.

Alkisah, pada tahun 44 SM, sejumlah senator yang dipimpin oleh Marcus Junius Brutus membunuh penguasa Republik Romawi Julius Caesar. Rencana itu berawal dari kedengkian sekaligus ketakutan para senator terhadap Kekaisaran Julius yang semakin berkuasa.

Padahal, Brutus dibesarkan bahkan pernah dimaafkan Julius Caesar saat bersalah. Brutus malah berkonspirasi, mengeroyok dan menikam seluruh tubuh Julius Caesar dengan belati hingga tewas di Senat Roma, saat memenuhi undangan para senator Brutus dkk, walau telah dilarang datang oleh istrinya.

“Begitu besar cintaku kepadanya, sehingga aku tak ingin membiarkannya hidup sebagai seorang diktator yang tiran," ucap Brutus laiknya pahlawan, dalam naskah sastrawan Shakespeare.

Kisah ini, lanjut Haris, sangat inspiratif, lantaran selalu saja ada manusia dengan peran seperti Brutus, pada setiap periode kekuasaan di mana pun. Contohnya Ginandjar Kartasasmita dkk, dalam periode akhir Rezim Soeharto.

Mencegah kediktatoran, tuturnya lagi, adalah suatu alasan yang klise, kamuflase semata. Bukankah anggota-anggota Senat Roma yang berkonspirasi dalam pembunuhan terhadap Julius Caesar, juga adalah orang-orang yang mengkhianati rakyat dan menjadi kaya raya karena korupsi dan pengkhianatan terhadap negaranya.

"Dengan kelicikannya, Ginandjar menumpangi gerakan mahasiswa tahun 1998 bagaikan mandi di dalam kolam yang bersih. Wajah dan tubuhnya yang tadinya dilumuri lumpur korupsi dan kotoran pengkhinatan menjadi bersih kembali, tampil seakan akan pahlawan," tegas dia.

Eksponen gerakan mahasiswa 1998 di Yogyakarta tersebut menilai Ginandjar penerus Brutus, karena harta kekayaannya diduga diperoleh dari kejahatan korupsi dan pengkhianatan terhadap negara.

Sebagaimana Brutus, pengkhianatan Ginandjar ke Soeharto sesungguhnya tidak untuk membela kepentingan rakyat dan negara. Tetapi dilakukan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri, yang mengatasnamakan rakyat dan reformasi.

"Karena itu, jika saat ini, sedang berlangsung pertikaian antara Rezim Joko Widodo dengan rakyat terkait kesepakatan Freeport, sembunyi ke mana Ginandjar? Jika saat ini berlangsung sengketa tak berujung antara Menteri ESDM versus Freeport, di mana gerangan sang Brutus Ginandjar Kartasasmita?" pungkas Haris Rusly. (Jitunews)

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel