"Presidential Threshold" dirancang untuk untungkan Jokowi pada Pemilu 2019

"Presidential Threshold" dirancang untuk untungkan Jokowi pada Pemilu 2019

Bagaimana mungkin kita berharap bisa mendapatkan Pemilu yang jujur dan adil kalau dari hulunya, regulasi pemilunya saja sudah disusun berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu


Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menilai, aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) hanya menguntungkan pemerintah sebagai pembuat undang-undang bersama DPR.

Sebab, ketentuan tersebut mempersulit partai lain untuk mengajukan calon presiden yang ingin diusung pada pemilu serentak 2019.

Padahal, terkait pengusungan calon presiden sudah dijamin dalam Pasal 6a ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum".

Logika MK Kacau

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan, penyelenggaraan Pemilu harus memenuhi asas jujur, adil, dan demokratis sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Oleh karena itu, formulasi aturan terkait presidential treshold juga sedianya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

"Bagaimana mungkin kita berharap bisa mendapatkan Pemilu yang jujur dan adil kalau dari hulunya, regulasi pemilunya saja sudah disusun berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dan bertentangan dengan konstitusi," kata Titi di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2017).

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menilai, tidak tepat jika ketentuan ambang batas untuk pencalonan presiden ( presidential threshold) diterapkan pada Pemilu Serentak 2019.

Menurut dia, akan muncul problematika untuk menetapkan dasar perhitungannya.

"Bagaimana menghitung presidential threshold kalau pemilu diadakan serentak ? Kan tidak mungkin," kata Yusril, seusai acara buka puasa bersama DPP Partai Bulan Bintang, di Jakarta, Rabu (21/6/2017).

Yusril juga menanggapi sikap pemerintah yang ngotot menginginkan ambang batas pencalonan presiden 20-25 persen, yakni 20 persen kursi dan 25 persen suara nasional.

Menurut Yusril, angka tersebut tidak menjamin bahwa presiden yang terpilih nantinya akan mendapat dukungan parlemen.

"Apa sih angka 20-25 persen ? Kalau dibilang Pak Tjahjo (Mendagri Tjahjo Kumolo) supaya Presiden memperoleh dukungan parlemen, kalau yang dukung 20 persen tapi 80 persen lainnya enggak dukung, ngapain juga. Enggak ada gunanya juga kan," kata Yusril.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ( presidential threshold) dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum hanya menguntungkan posisi petahana, dalam hal ini Jokowi.


Menurut Feri, pasal tersebut memperkecil potensi persaingan bagi petahana dalam kompetisi pemilu. "Ahli melihat kehadiran Pasal 222 Undang-Undang Pemilu lebih karena bicara rentannya menjadi petahana dan perlunya pengaturan kompetisi yanng kemudian menguntungkan petahana," ujar Feri saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materiil UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (24/10/2017).

Pasal 222 UU Pemilu menyatakan, pasangan calon Pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.

Ketentuan presidential threshold, kata Feri, telah memangkas hak setiap warga negara untuk dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Peneliti The Political Literacy Institute, Adi Prayitno, ikut menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Khususnya, terkait penolakan gugatan soal Presidential Threshold (PT) 20 persen.

"Pertama, logika MK kacau menolak gugatan soal PT 20 persen itu. Kacau karena MK mengacu pada hasil pileg 2014 lalu yang sudah kadaluarsa. Sementara pemilu 2019 dilaksanakan serentak dimana hasil pileg dan pilpres diketahui pada hari yg bersamaan,"

Putusan MK ini jelas menghambat calon-calon potensial yang memiliki kapasitas memadai untuk ikut Pilpres 2019. Kenapa nggak sekalian 50 persen saja PT-nya. Biar kuat sekali sistem presidensialismenya," papar Adi.

Di himpun dari berbagai sumber Internet
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel