Rendahnya vonis terhadap korporasi dan perusak lingkungan di Indonesia

Rendahnya vonis terhadap korporasi dan perusak lingkungan di Indonesia

Satu tongkang batubara isi 8000 ton bernilai Rp 11 miliar, cukup 2.5 miliar untuk membayar lunas denda pidana kurungan lenyap.


Koalisi masyarakat sipil kecewa atas dua putusan pen­gadilan yakni Pengadilan Negeri (PN) Pangkal Pinang, Bangka Belitung, dan PN Tenggarong, Kalimantan Timur. Putusan ini terkait pidana lingkungan hidup yang di­jatuhkan pada dua perusahaan tambang.

Di PN Pangkal Pinang, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) diputus bersalah dan dikenai denda Rp 1,1 miliar. Sementara di PN Tenggarong, PT Indominco Mandiri (IM) yang diputus bersalah dan dikenai denda Rp 2 miliar.

Koalisi menilai, dalam dua perkara tersebut, denda yang ditetapkan pengadilan terlalu rendah dan pidana kurungan lenyap. Selain itu, putusan tersebut tidak memasukkan desakan biaya pemulihan, dan tidak memasukkan pidana ke­jahatan korporasi.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung, Ratno Budi menutur­kan, dalam kasus yang menjerat PT SIP, jaksa hanya menuntut denda Rp 1,6 miliar. Namun akhirnya diputus menjadi Rp 1,1 miliar saja.

Menurutnya, jaksa harus menuntut maksimal. Karena da­lam Pasal 109 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), tuntutan mak­simal mencapai Rp 3 miliar dan pidana kurungan mulai 1 hingga 3 tahun bagi subjek hukum bagi petinggi perusahaan yang bersama.

"Namun jaksa juga melenyapkan tuntutan pidana kurungan tersebut," kata Ratno, kemarin.

Ratno mencurigai, kuat du­gaan adanya pembonsaian tuntutan maupun vonis su­dah dirancang dari awal sejak masa penyidikan. Untuk itu, lanjut Ratno, mereka mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK/ Kemenhut) harus banding dalam kasus ini.

"Karena putusan PN Pangkal Pinang yang menghukum PT SIP masih belum bisa menebus rasa keadilan yang dirasakan masyarakat," tegasnya.

Pola yang sama juga terjadi dalam kasus pidana lingkungan hidup PT IM di PN Tenggarong, Kalimantan Timur. Hal ini di­ungkap Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang.

Pencemaran berupa pembuanganlimbah pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU) ini, ujarnya, merupakan rentetan penghancuran alam. Sejak dari upaya penambangan Sungai Santan di Kutai Kartanegara hingga intimidasi kepada warga setempat. "Dalam kasus ini, pidana kurungan penjara juga lenyap," keluhnya.

Berdasarkan perhitungan Jatam, pidana denda Rp2 miliar kepada PT IM dapat ditebus hanya dengan mengapalkan 1/4 tongkang batubara dengan volume 8000 ton. Hitungan itu didapat dari perhitungan harga batubara acuan saat ini, dikali dengan satu tongkang batubara.

Satu tongkang batubara isi 8000 ton bernilai Rp 11 miliar dengan asumsi 1 ton batubara saat ini rata-rata 100 USD/ton. "Artinya cukup 1/4 tongkang PT IM sudah membayar lunas pidana denda yang dijatuhkan pengadilan dan atas gugatan KLHK tersebut," jelas Pradarma.

Sementara Koordinator Nasional Jatam, Merah Johansyah menyatakan, dua putusan menjadi ujian apakah KLHK sungguh-sungguh menegakkan pidana atau kejahatan korporasi. "Karena jika putusannya selemah ini, publik hanya disodorkan penegakan hukum atas korporasi setengah hati," sebutnya.

Koalisi mendesak agar jaksa dan KLHK untuk mengajukan banding dalam kasus PT SIP di Bangka Belitung dan PT IM di Kalimantan Timur, karena belum mewakili rasa keadilan warga yang selama ini terdampak.

Selain itu, mereka juga men­dorong Kementerian ESDM, Kementerian LHK dan guber­nur, sesuai kewenangannya masing-masing untuk mencabut izin usaha dan izin lingkungan hidup. (rmol)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel