Kondisi global yang saat ini tengah bergejolak memberikan pengaruh terhadap penerbitan surat utang pemerintah. Hal tersebut, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Kami akan waspada, dan tetap komunikasikan kebutuhan financing kita akan tetap terjaga, sehingga tidak menimbulkan spekulasi," kata Sri Mulyani di gedung parlemen, Kamis (26/4/2018).
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR), target lelang Surat Utang Negara (SUN) untuk lima seri jauh pada 24 April 2018 lalu jauh dari harapan. Bahkan realisasinya, tidak mencapai separuh yang ditargetkan.
Bendahara negara menargetkan bisa menyerap Rp 17 triliun melalul lelang obligasi tersebut. Namun, realisasi akhir total utang yang bisa diraup pemerintah hanya sekitar Rp 6,1 triliun.
Sementara di satu sisi, Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah terus naik. Pada hari ini yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun telah menembus level 7%, atau merupakan yang tertinggi sejak Juli 2017.
Kenaikan yield mencerminkan harga instrumen tersebut sedang turun. Penurunan harga menjadi indikasi bahwa minat investor terhadap surat utang pemerintah berkurang.
Namun, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengaku masih optimistis strategi pembiayaan tahun ini lancar. Pemerintah akan memitigasi risiko dalam penerbitan obligasi, di tengah tekanan kondisi global.
"Kita melihat bahwa proyeksi pembiayaannya masih akan cukup comfortable," jelasnya. (dru)
Dolar AS Nyaris Rp 14.000, Utang Pemerintah Bengkak Rp 2,8 T
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang nyaris menembus Rp 14.000/US$ akan berdampak kepada pengelolaan anggaran negara. Salah satu dampaknya adalah dalam hal pembayaran utang dalam valas.
Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Erwin Ginting mengatakan, pelemahan rupiah akan berdampak pada peningkatan realisasi pembayaran utang jatuh tempo valas pemerintah. Pada tahun ini, utang jatuh tempo pemerintah mencapai Rp 394 triliun, di mana 72% atau sekitar Rp 283 triliun dalam denominasi mata uang rupiah dan US$ 8,2 miliar atau Rp 110 triliun (kurs Rp 13.400/US$) dalam bentuk valas.
Erwin menjelaskan, pembayaran utang jatuh tempo valas sudah meningkat sejak Maret 2018 ketika kurs rupiah berada di level Rp 13.800/US$. Pada akhir Maret, pemerintah telah membayar utang jatuh tempo valas sebesar US$ 2,7 miliar atau setara Rp 37,2 triliun (kurs Rp 13.800/US$).
Artinya, sisa kewajiban pembayaran utang tahun ini mencapai US$ 5,5 miliar. Meskipun pelunasan utang jatuh tempo akan dilakukan secara bertahap, potensi pembengkakan pembayaran utang tahun ini terbuka lebar seiring dengan tren pelemahan rupiah.
Jika menggunakan kurs Rp 13.400/US$ seperti asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, maka utang jatuh tempo dalam valas adalah setara Rp 73,6 triliun. Namun, apabila kurs rupiah berada di level Rp 13.900, maka utang jatuh tempo yang harus dibayarkan membengkak hingga Rp 76,4 triliun.
"Dalam perencanannya, pembayaran jatuh tempo utang menggunakan asumsi kurs di APBN. Tetapi asumsi kurs Rp 13.900/US$ ini terlalu pesimis," kata Erwin kepada CNBC Indonesia, Rabu (25/4/2018).
Secara keseluruhan, lanjut Erwin, potensi adanya pembengkakan pembayaran utang jatuh tempo tahun ini dari pelemahan rupiah tidak sebesar yang diperkirakan. Dia menegaskan risiko ini masih mampu dikelola oleh pemerintah dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Meski pembayaran utang membengkak, tetapi secara keseluruhan dampak pelemahan rupiah terhadap APBN cukup positif. Pemerintah justru akan menerima tambahan anggaran, karena penerimaan akan lebih besar ketimbang belanja. (cnbc)