Takut menggerus peran media mainstream milik cukong, DPR mau bikin UU Medsos

Takut menggerus peran media mainstream milik cukong, DPR mau bikin UU Medsos

Penyalahgunaan medsos selama ini tak hanya sebatas pencurian dan penyalahgunaan data pengguna. Di medsos juga marak penyebaran ujaran kebencian dan berita hoaks


DPR berencana membuat Undang Undang tentang media sosial (medsos). UU ini dianggap penting untuk mengatur penggunaan medsos secara rinci, menghindari kejahatan, dan meningkatkan pendapatan negara.

Rencana itu muncul dari hasil pertemuan Ketua DPR Bambang Soesatyo dengan para pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Kompleks Parlemen, Senayan, kemarin (Kamis, 26/4).

Dalam pertemuan itu, PWI mengusulkan agar DPR menjadi pihak yang berinisiatif membentuk Rancangan Undang-Undang itu. Di hadapan para pengurus PWI, Bambang berjanji akan mengkaji usulan tersebut.

"Usulan PWI untuk membentukan Undang-Undang tentang media sosial, saya kira bisa menjadi jawaban atas berbagai kegelisahan dan keprihatinan yang sedang kita rasakan. Segera saya akan minta Badan Keahlian Dewan untuk membuat kajian yang mendalam,” ujar politisi yang akrab disapa Bamsoet ini.

Dalam amatan dia, penyalahgunaan medsos selama ini tak hanya sebatas pencurian dan penyalahgunaan data pengguna. Di medsos juga marak penyebaran ujaran kebencian dan berita hoaks di berbagai situs dan platform digital lainnya.

Bagi Bamsoet, pembentukan UU medsos ini sudah menjadi keharusan. Di dunia Barat, UU tersebut sudah dibentuk sejak 2017. Makanya, Indonesia harus bergerak cepat.

"Di Jerman, sudah ada Undang-Undang tentang media sosial. Namanya Enforcement on Social Networks (NetzDG), yang dibentuk akhir Juni 2017. Keberadaan UU tersebut salah satunya juga untuk memerangi maraknya ujaran kebencian di media sosial.

Bahkan, situs dan platform yang menyajikan berita hoaks bisa didenda hingga 50 juta euro. Jadi, tidak hanya pengguna atau penyebar berita, media sosialnya pun seperti Twiter, Path, Instagram, dan lain-lain bisa dituntut dan diseret ke meja hijau,” jelas politisi Partai Golkar ini.

Kata Bamsoet, keberadaan UU tentang medsos di Indonesia juga bisa menambah pendapatan negara. UU ini bisa dijadikan payung hukum bagi negara dalam menarik pajak terhadap pemuatan iklan digital di berbagai website.

Selama ini, ucap Bamsoet, banyak iklan yang berasal dari perusahaan asing bebas nempel di dinding akun medsos masyarakat Indonesia. Perusahaan itu tidak dikenai pajak, karena belum ada payung hukumnya.

Dengan UU itu, perusahaan tersebut tidak bisa mengelak lagi. Penyedia layanan digital seperti Google, Youtube, Facebook, dan Twitter yang beroperasi di Indonesia juga bisa dijadikan sebagai wajib pajak.


"Setelah bertahun-tahun beroperasi di Indonesia, baru di era Presiden Jokowi pemerintah Indonesia bisa menarik pajak dari Google. Jenis pajak yang dibayarkan terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Jumlahnya cukup besar, mencapai Rp 450 miliar. Sekarang, kita sedang kejar Facebook, Twitter, dan lainnya. Namun, ini tidak mudah karena mereka masih berkelit terhadap peraturan hukum yang ada di Indonesia, terangnya.

Data yang diterima Bamsoet, dalam setahun, Google Indonesia memperoleh pendapatan sekitar Rp 5 triliun, dengan keuntungan minimal Rp 1,6 triliun. Tak menutup kemungkinan Facebook, Twitter, maupun penyedia layanan digital lain punya pendapatan yang sama besar.

"Sayang sekali jika seandainya potensi penerimaan negara melalui pajak terhadap penyedia layanan digital tak bisa kita dapatkan.

Melalui UU ini, kita bisa memberikan sanksi terhadap penyedia layanan yang tak bisa melindungi data penggunanya, memproses hukum pihak yang mencuri ataupun menyalahgunakan data pengguna, serta menarik pajak terhadap berbagai penyedia layanan digital maupun pemasangan iklan," pungkasnya. (sam)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel