Teror Bom Muncul, Desakan UU Terorisme Menguat. Sejak terjadinya ledakan bom di tiga gereja di Surabaya, Kapolda Metro Jaya Idham Azis menyatakan seluruh jajaran kepolisian di Jakarta dalam status siaga satu. Sebagaimana dilansir di cnnindonesia.com, melalui surat telegram Kapolda Metro Jaya No. STR/817/VPAM.3.3/2018.
Buntut lanjutannya sudah bisa diduga akan ada tuntutan pengesahan UU Terorisme. Sebagaimana ungkapan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Harris Azhar ketika mengomentari bom Sarinah, bahwa pemerintah selalu menggunakan momentum teror untuk mengangkat lagi ide merevisi UU Terorisme. Jadi ini lagu lama.
Terbukti pula sejak hari pertama ledakan bom di tiga gereja di Surabaya kita langsung mendengar keputusan Kepolisian Republik Indonesia yang mendesak pemerintah dan DPR mempercepat penyelesaian revisi UU N0. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).
Kepala Divisi Humas Polri mengatakan bahwa UU Terorisme sekarang sifatnya responsif, artinya apabila belum ada tindakan teror, maka tidak bisa dilakukan penangkapan. Sedangkan petugas Polri berharap diberikan kewenangan melakukan upaya preventif.
Bahkan Kapolri meminta Presiden Jokowi segera membuat Perppu untuk mempercepat penanganan sekaligus sebagai antisipasi tindakan teror. Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuzy yang mendesak DPR segera merevisi UU Terorisme.
Padahal apabila kita ikuti perjalanan UU Terorisme ini sejak dimasukkan dalam Prolegnas tahun 2016, masih menjadi kontroversi. Kalangan pembela HAM mengingatkan, gagasan revisi UU itu jika dilakukan akan mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat.
Sejumlah kritik dilontarkan atas draf revisi UU Terorisme yang diusulkan pemerintah karena dinilai rentan pelanggaran HAM'dan 'berpotensi merampas kebebasan sipil. Diantara pasal yang menuai kritik adalah perpanjangan masa penangkapan dari semula 7 hari menjadi 30 hari.
Sedangkan konvensi internasional menstandarkan seseorang boleh ditangkap dan diminati keterangan itu 1x24 jam. Pasal lain rentan pelanggaran HAM adalah 43A, yang memberikan kewenangan untuk membawa atau menempatkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme ke suatu tempat dalam waktu 6 bulan (kiblat.net).
Kekhawatiran manakala revisi UU Terorisme ini disahkan akan menjadikan pemerintah sangat represif pun cukup beralasan. Pasalnya, Kepala BNPT, Suhardi Alius mengatakan bahwa BNPT mangajukan masukan usulan ke dalam draf revisi tersebut agar kewenangan aparat keamanan dalam mencegah terorisme berasaskan proactive law enforcement atau upaya represif untuk preventif.
Dalam praktiknya aparat keamanan memiliki kewenangan untuk memeriksa atau menindak pihak-pihak yang melontarkan ujaran kebencian, organisasi masyarakat yang menyatakan berafiliasi dengan organisasi radikal di level internasional (kompas).
Sehingga tidak berlebihan jika Pengamat Kontra Terorisme, Harits abu Ulya berpandangan bahwa tindakan pemerintah akan lebih represif lagi kepada elemen-elemen yang dianggap ada benang merahnya dengan terorisme versi rezim status quo.
Dia menilai bahwa UU Terorisme sebelum revisi saja banyak melahirkan tragedi kedzaliman terhadap umat islam. Apalagi jika akhirnya UU Terorisme disetujui direvisi, akan menjadi payung hukum legal penguasa bertindak lebih dzalim lagi.
Ke depan demikian mudah pemerintah mengkriminalisasi para ulama dan juru dakwah hanya karena ditafsirkan menyampaikan pemikiran kontra mainstream, atau dianggap menginspirasi orang melakukan tindakan kekerasan. Harits juga menegaskan bahwa pemerintah dalam hal ini BNPT akan dengan mudah menyasar media Islam yang kontennya ditafsirkan secara subyektif.
Maka bisa dibayangkan bagaimana kehidupan kita ke depan pasca digolkannya revisi UU Terorisme ini. Kehidupan mencekam penuh intimidasi dan ketakutan melingkupi.
Ceramah-ceramah agama di masjid dimata-matai, kegiatan keislaman diawasi, khatib tidak lagi leluasa mendakwahkan ajaran Islam, para aktivis masjid dan pendakwah dibatasi geraknya, dst.
Bisa jadi muncul Dinas Rahasia, kasus petrus di masa Orba dan beragam penculikan masa lalu yang masih misterius hingga saat ini akan terulang kembali bahkan semakin marak karena memiliki legalitas. Tentu hal ini musti dicegah.
Mengingat Islam dan ajarannya apalagi Khilafah bukanlah sesuatu yang membahayakan eksistensi negara. Dakwah Islam amar ma'ruf nahi munkar justru menjaga negeri ini dari kehancuran, membina generasi muda agar memilki ketaqwaan dan tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.
Syariat Islam yang mengharamkan khamr, seks bebas, prostitusi dan perjudian justru dapat mengantarkan negeri ini dari kerusakan moral. Sudah sepatutnya sebagai muslim, kita tidak antipati pada Islam apalagi memusuhi Islam.
Sebaliknya meyakini bahwa hanya syari'at yang berasal dari Allah Azza wa Jalla saja yang akan membawa negeri ini mewujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur.
Kiriman dari Media Oposisi
Penulis: Yuyun Pamungkasari, S.Si