Ketika infrastruktur telah jadi dijual ke investor, lalu Utang Untuk Apa?

Ketika infrastruktur telah jadi dijual ke investor, lalu Utang Untuk Apa?

Suatu negara tidak bisa maju jika pembangunan di topang oleh utang. Penerbitan SBN yang menjadi sumber utang pun memiliki resiko tinggi karena didominasi oleh rupiah dan valas yang sifatnya sangat fluktuatif saat dijualbelikan


Tercatat saat ini utang Indonesia mencapai Rp 4.915 triliun.

Utang ini diketahui melalui Bank Indonesia (BI) yang mencatat Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir Januari 2018 kemarin meningkat sebanyak 10,3 persen.

Hingga utang Indonesia menjadi 357,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.915 triliun (kurs Rp 13.750 per dollar AS) seperti dilansir dari Kompas.com.

Adapun rincian utang Indonesia ialah 183,4 miliar dollar AS atau setara Rp 2.521 triliun utang pemerintah dan 174,2 miliar dollar AS atau setara Rp 2.394 triliun utang swasta. (BT)

Banyak yang menyatakan hal ini demi kemajuan bangsa. Karena digunakan untuk membangun infrastruktur yang kedepannya akan menguntungkan perekonomian dalam negeri. Pernyataan tersebut sekilas terasa benar.

Namun pada faktanya ketika infrastruktur telah jadi malah dijual ke investor. Investorlah yang pada akhirnya akan mendapatkan keuntungan, dari saham yang mereka miliki dalam bentuk deviden.

Sedangkan Indonesia, tetap menjalankan rutinitas membayar cicilan bunga utang dan utang lagi.

Perlu diingat bahwa setiap kebijakan terdapat batas rasio utang. Jika rasio utang melebihi 100% dari GDP maka bisa membahayakan eksistensi negara. Apalagi infrastruktur yang digadang-gadang ternyata hanya mampu menggerakan pertumbuhan ekonomi 5% saja. Ini membuktikan bahwa suatu negara tidak bisa maju jika pembangunan di topang oleh utang.

Penerbitan SBN yang menjadi sumber utang pun memiliki resiko tinggi karena didominasi oleh rupiah dan valas yang sifatnya sangat fluktuatif saat dijualbelikan. Jika terjadi capital outflow yaitu saat Amerika menaikkan tingkat suku bunganya, hal ini akan sangat berisiko bagi stabilitas ekonomi Indonesia.

Utang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 384 triliun. Sementara realisasi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri hingga Maret sebesar Rp 11,34 triliun atau 16,25 % dari target Rp 69,79 triliun sepanjang tahun ini.(Liputan6.com)

Mengerikan. Karena penguasa negeri ini telah membuka tangannya dengan hati legowo kepada lembaga kuangan asing untuk mendapatkan pinjaman berbunga luar negeri. Baik bilateral maupun multilateral. Itu artinya telah mempersiapkan maling untuk merampok seluruh hartanya. Mencuplik pernyataan mantan Presiden Venuzuela, Hugo Chavez, World Bank dan IMF adalah alat imperalisme AS.

Utang Sebagai Metode Penjajahan Gaya Baru

Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, disebutkan bahwa lembaga bantuan (pemberi hutang) AS ini bersama Bank Dunia aktif dalam proyek privatisasi di Indonesia.

Yang diincar oleh AS bukan hanya bunga yang berlipat-lipat ganda saja, namun juga kekayaan tambang negeri ini yang melimpah ruah, tanah yang subur, keindahan alam dan sumber daya manusianya. Tak ada satu inci pun yang tak diincarnya. Sesungguhnya, negara adidaya hidup dari hasil menghisap darah negara-negara berkembang. Indonesia salah satunya.

Untuk mendapatkan itu semua, Bank dunia dan IMF mengharuskan negara peminjam menjalankan Adjustment Programs, yang terdiri dari: (a) liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas, (b) devaluasi, (c) kebijakan moneter dan fiskal.

Semua cicilan baik dari bunga hingga pokok pembayaran utang diambil dari APBN yang notabene uang rakyat yang dipungut dari pajak. Inilah salah satu kebijakan fiskal yang dipaksakan di negeri ini. Maka jangan heran jika sekarang prosentase pajak makin tinggi dan jenis pajak makin beragam. Bahkan orang mati pun rencananya mau dipajakin juga.

Rina Yulistina, S.E (media Oposisi, edited)
Ilustrasi : Google
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel