Menelusuri kehidupan ribuan buruh kasar impor dari Cina, kawin dengan gadis lokal kemudian jadi pengusaha

Menelusuri kehidupan ribuan buruh kasar impor dari Cina, kawin dengan gadis lokal kemudian jadi pengusaha

Seperti jamur, jumlah TKA ilegal asal Cina terus meningkat. Bahkan, di Desa/Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) kelompok TKA bekerja layaknya di kampung halaman mereka.


Suasana jalan Desa/Kecamatan Morosi, Konawe, siang itu tampak lengang. Hanya satu dua kendaraan truk dan mobil operasional proyek yang terlihat hilir mudik di jalan tanah (pengerasan) tersebut.

Mereka keluar masuk kawasan mega industri Morosi. Di situ ada pembangunan pabrik besar pengolahan mineral (smelter) nikel dan PLTU.

Kelengangan itu berubah pukul 15.00 Wita. Satu persatu pekerja semburat dari lokasi proyek.

Baik pekerja lokal maupun TKA. Hanya, bedanya, pekerja pribumi langsung pulang ke rumah masing-masing.

Sementara para TKA menuju deretan kios semi permanen yang berjarak 100 meter dari pintu masuk proyek. Ada sekitar 16 kios. Mayoritas beratap seng, asbes dan daun sagu kering, serta berdinding papan.

Deretan kios yang lebih mirip pasar templok itu dihuni warga setempat. Barang yang dijual cukup lengkap. Ada perkakas rumah tangga, seperti baskom, ember, gayung, hanger, dan bak air.

Beberapa kios juga menjual pulsa elektrik, pulsa listrik, kartu perdana, sampai aksesoris hand phone. Paling banyak adalah rumah makan.

Ada juga toko buah dan toko kelontong yang menjual galon air mineral isi ulang, mi instan, biskuit, dan kopi sachet. Tidak hanya itu, penjual batu akik juga menghiasi deretan kios tersebut.

Jasa rental mobil pun bisa ditemukan di area yang berada 1 jam dari kota Kendari itu. Tarifnya Rp 400 ribu sekali jalan (Morosi-Kendari). Ada pula yang kios yang khusus menjual minuman keras (miras) jenis bir.

Pasar dadakan tersebut ramai menjelang petang. Dari pantauan pukul 17.00-18.00 Wita. Tidak banyak masyarakat lokal yang mengunjungi kios-kios itu.

Pembelinya justru banyak dari pekerja asing asal Cina. Lebih 20 orang pekerja asing menuju kios-kios tersebut setiap menitnya. Itu berarti, jumlahnya mencapai 1.200 orang dalam satu jam saja.

Jumlah itu meningkat dua kali lipat selepas petang. Setiap menit ada puluhan pekerja asing yang keluar dari dalam kawasan industri. Mereka berjalan bergerombol 5-10 orang.

Mayoritas identik dengan pekerja kasar atau unskilled worker. Penampilan mereka sangat sederhana. Bahkan kucel. Sebagian besar mengenakan kaos oblong dan celana kolor atau training.

Ada pula yang memakai kemeja lusuh serta celana kain warna gelap. Sebagian besar pakai sandal jepit. Hanya sedikit pekerja yang mengenakan seragam proyek warna biru dan abu-abu dan bersepatu.

Semua pekerja asing itu menggunakan bahasa Cina saat berinteraksi satu sama lain. Tidak ada satupun yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia atau Inggris.

”Mayoritas yang bekerja di pabrik itu (smelter) memang orang Cina, orang Indonesia-nya sedikit,” ujar Fahrudin, warga Desa Morosi.

Nah, kios-kios itu sengaja didirikan seiring eskalasi pekerja Cina di kawasan tersebut. Bahkan, tidak jarang nama kios yang menggunakan tulisan bilingual (dua bahasa), Indonesia dan Mandarin.

Rumah makan Berkah, misalnya, dibawah tulisan RM Berkah terdapat aksara China yang artinya sama dengan nama rumah makan.

”Untuk memudahkan saja, karena pekerja yang beli di sini (kios) tidak ada yang bisa bahasa Indonesia,” ujar pria yang pernah jadi tukang jasa antar galon untuk pabrik smelter ini.

Kompleks pasar yang berada di jalan utama Desa Morosi itu selalu ramai pukul 17.00 sampai 21.00 Wita.

”Seperti pasar malam, jam segitu pekerja asing keluar dari kawasan proyek, cari makan dan belanja,” imbuhnya.

Setiap hari, ada ribuan pekerja asing berbelanja di pasar tersebut. Mayoritas berjalan kaki. Sebagian membeli makanan instan untuk dibawa ke mes di dalam kawasan proyek.

Lainnya membeli makanan siap saji di warung makan. ”Itu (jalan kaki) kebanyakan pekerja kasar, kalau yang jabatannya level atas naik motor dan mobil, belanjanya ke Kendari,” imbuhnya.

Saat belanja di pasar itu, para pekerja yang baru tiba dari negara asalnya biasanya akan membeli baskom untuk wadah air dan makanan.

”Karena mereka tidak mau pakai baskom bekas,” beber Fahrudin yang punya usaha rental kendaraan ini.

Di pasar tersebut, transaksi jual beli antara penjual dan pekerja Cina lebih dominan menggunakan bahasa isyarat.

Maklum, tidak semua pemilik kios bisa berbahasa Cina. Begitu juga sebaliknya, pekerja asing sangat minim yang bisa berbahasa Indonesia.

Di rumah makan Hikmah milik Suminah (42), misalnya, pekerja asing mesti menunjuk makanan yang akan dipesan.


Tidak sedikit pula pekerja China yang memasak sendiri di dapur rumah makan. Selain keterbatasan bahasa, masak sendiri dilakukan pekerja asing agar citrasa makanan yang dimakan sesuai dengan selera.

Caranya, mereka akan menunjuk bahan masakan dan alat masak yang akan diolah sendiri. Untuk memasak, biasanya dilakukan lebih dua orang pekerja. Masakan itu nantinya disajikan untuk kelompok pekerja berjumlah 4-5 orang.

”Kalau ayam potong yang sudah cabut bulu Rp 70 ribu nanti dimasak sendiri sama mereka (orang China). Kalau satu porsi nasi bungkus Rp 17 ribu,” tutur Suminah.

Untuk menentukan harga, beberapa pemilik kios sudah terbisa menyebut angka dalam bahasa Mandarin. Baskom harga Rp 5.000, misalnya, penjual akan bilang bucet ke pekerja Cina.

Namun, bila penjual belum bisa berbahasa Cina, mereka akan menggunakan isyarat jari. Satu jari menunjukan harga Rp 1.000, dua jari Rp 2.000 dan begitu seterusnya.

”Mereka juga banyak yang nawar kalau harganya kemahalan,” ujar Sungkowo, 50, warga setempat.

Pekerja asing Cina di Marosi selama ini memang dikenal tertutup. Terutama soal pekerjaan dan gaji.

Bagaimana masyarakat Morosi beradaptasi dengan tenaga kerja Cina di daerah itu



Serbuan tenaga kerja asing asal Cina di Indonesia cukup dirasakan masyarakat Morosi Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Pembangunan mega industri pemurnian bijih besi di Morosi mendatangkan pekerja dari Cina.

Kecamatan Morosi, mulai populer sejak Kabupaten Konawe ditetapkan sebagai kawasan mega industri smelter (pabrik pemurnian bijih besi) yang diprogramkan pemerintah Pusat. Banyak warga Tingkok keluar masuk di daerah itu. Warga Morosi harus hidup berdampingan dengan mereka, adaptasi pun diperlukan oleh mereka.

Perubahan paling signifikan yang terlihat di daerah itu adalah rumah makan. Sebelumnya, sulit mendapatkan rumah makan di kawasan ini. Belakangan, puluhan Warung makan yang berjejer di seputaran mega industri Konawe, di Kecamatan Morosi. Namun, sangat sulit menemukan rumah makan yang menyajikan menu masakan sinonggi. Menu yang disiapkan lebih banyak masakan China.

Dentuman alunan musik yang terdengar dari soundsystem setiap warung makan terasa asing terdengar. Bukannya lagu Sambalado yang dinyanyikan Ayu Ting Ting atau artis-artis Indonesia lainnya. Melainkan lagu-lagu berbahasa Mandarin. Alur lagunya tidak dimengerti warga setempat.

Kebiasaan memutar lagu-lagu Cina merupakan senjata yang dipakai oleh para pengelola warung makan untuk menarik minat pelanggan. Setiap pukul 16.00 wita, satu persatu warga Cina yang berada di mega industri Morosi akan berdatangan ke warung-warung makan.

Warung makan yang bisa memutar lagu terbaik untuk pelanggannya, tempat itulah yang akan ramai dikunjungi.

Rupanya, para pengelola warung makan tidak hanya menyediakan lagu-lagu Mandarin, tapi juga menyajikan menu spesial asal Negeri Tirai Bambu. Seperti di Warung Makan Nan Xiang dengan menu andalannya adalah Xiao Long Bao atau semacam pangsit yang berisi ayam dan udang.

Masakannya berisi kaldu dengan harga Rp 50 ribu per porsi. Selain itu, ada juga berbagai macam menu lainnya seperti sup labu putih dengan saus daging dan telur kepiting, sup tulang ikan dengan harga sekitar Rp 40 ribuan per porsi.


Ramainya pengunjung di warung makan itu hanya sore dan malam. Pekerja asal Cina itu baru bisa berkeliaran pada pukul 16.00 wita. Pada jam tersebut, satu persatu pekerja mulai keluar dari area pembangunan smelter menuju warung-warung makan yang lokasinya sekitar 200 meter dari tempat kerja mereka.

TKA ini ada keluar sendiri-sendiri, ada juga yang berkelompok untuk mencicipi hidangan pada warung makan favoritnya.

“Pada sore hari, mereka akan bersantai di warung-warung makan. Selain makan, mereka juga sering memesan kopi saja atau jus. Kalau pembayarannya pakai rupiah. Sepertinya mereka sudah mulai mengetahui nilai nominal mata uang kita.

Kadang juga mereka ditemani penerjemah atau rekan mereka yang sedikit tahu bahasa Indonesia. Kami juga biasa belajar memahami bahasa mereka,” ungkap Laila, salah seorang pegelola warung makan di Morosi.

Wanita 37 tahun itu mengaku baru membuka warung makan lima bulan lalu. Ia berinisitaif mendirikan warung makan Cina karena melihat banyaknya warga asing yang datang bekerja di mega industri.

Mereka umumnya mengisi posisi petugas cleaning service, office boy, angkat campuran semen, angkat potongan besi, angkat galon, tukang pasang batu untuk cor-coran serta helper. Ada pula tukang masak dan sopir kendaraan proyek yang berkewarganegaraan China.

Imbalan mereka pun lebih besar daripada penduduk lokal yang bekerja di posisi yang sama. ”Kalau kami (pekerja lokal) Rp 90 ribu per hari, tapi kalau mereka (pekerja kasar Cina) bisa Rp 400 ribu sehari,” beber salah seorang buruh kasar.

Mayoritas bekerja di proyek smelter PT VDNI. Mereka tinggal di barak penampungan didalam kawasan proyek yang disediakan perusahaan asal Cina itu.

Selama ini, para buruh kasar di Morosi memang sulit terungkap. Sebab, mereka pulang dan pergi ke wilayah itu setiap 2-3 bulan sekali.

Para pekerja tersebut mayoritas berasal dari wilayah pinggiran dan pesisir Cina. Seperti diungkapkan Liu Zecai, TKA Morosi asal provinsi Jiang Shu. Dia berbekal visa kunjungan untuk bekerja di Indonesia. ”Cina, Cina,” ujar Liu Zecai sembari menunjukan paspornya.

Saat tenaga kerja Cina kesengsem gadis Konawe dan beranak pinak

Raut wajahnya tetap segar meski ia baru saja menempuh perjalanan 40 km dari Kendari.
Usai menurunkan belanjaan, Alif beranjak menuju dapur. Lalu, kembali lagi di ruang makan, mengambil bahan masakan di dalam kulkas.

Liu Seng Warga Cina yang berhasil menikahi gadis Konawe kemudian membuka warung makan masakan Cina

Telepon selulernya beberapa kali berdering. Ia mengangkat dan bercakap menggunakan bahasa Mandarin. "Dia sibuk itu. Memasak untuk makanan pekerja-pekerja Cina," kata Yustin, salah satu pegawai di rumah makan milik Alif.


Warung itu dibuka setelah Alif memutuskan menikahi perempuan Konawe bernama Filla Fosia Kasim (18). Sebelum menikahi Filla dan menjadi mualaf, Alif punya nama Liu Cinjing. Keduanya menikah pada 12 Desember 2016.

Status pernikahan
Kepala Bidang Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Tenggara, Hasanuri mengatakan pernikahan warga asing dengan warga bisa sah secara agama jika memang memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Namun, kata dia, meski sah secara agama, pernikahan itu belum sah secara hukum.

Kenapa tidak sah? Sebab, kata Hasanuri, mempelai laki-laki belum berkewarganegaraan Indonesia. Karena belum berkewarganegaraan Indonesia, maka pernikahan itu tidak akan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).


Sementara itu, Bagian Pesonalia PT VDNI Yuda Novendri menampik adanya kabar TKA Ilegal di perusahaannya.

Dia menegaksan bahwa semua TKA yang dipekerjakan oleh Virtue Dragon memiliki paspor dan visa.

”Mereka 100 persen masuk lewat Bandara Seokarno Hatta. Dan selanjutnya masuk Kendari lewat Bandara Haluoleo,” ujarnya.

Dirangkum dari berbagai sumber (jpnn-beritagar-blognyadhedhykp)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel