Asian Games ditutup sengan performa artis Korea, sekali lagi kita melihat, bahwa cinta Indonesia bisa jadi hanya sebuah slogan saja, tapi pada prakteknya, mungkin kita lebih mencintai produk negeri lain, bahkan membebek pada tren di negeri yang lain
Lebih buruk lagi, ini bisa jadi adalah bagian dari penjajahan budaya dan pemikiran. Artis-artis luar negeri tidak hanya datang untuk bernyanyi dan menari, mereka membawa misi dan gaya hidup, dan gaya hidup yang mereka bawa adalah hedonisme
Bagi rumah tangga, hedonisme adalah penyakit yang membuat kacau rumah tangga, parah lagi, sekarang orang sudah mulai memilih pasangannya dengan sudut pandang hedonisme
Mencari yang cantik dan seksi, atau kaya dan punya harta, itu semata tanpa mempertimbangkan yang lain, bahkan sudah mulai permisif dengan seks bebas atau yang mendekatinya (felix Siauw)
Era sosmed, telah membentuk pola relasi dan interaksi unik. Kehangatan dan kedekatan, dukungan dan pembelaan bisa saling migrasi, dari dunia nyata ke dunia jejaring sosmed, atau sebaliknya.
Karenanya, Gus Nur alias Cak Nur alias Sugi Nur Raharja, ketika mendapat panggilan polisi untuk hadir di Polrestabes Surabaya, tidak mungkin tidak diketahui netizen. Dukungan netizen pasti membanjiri dunia maya, dan boleh jadi bermigrasi dalam bentuk dukungan nyata untuk ikut mengawal Gus Nur di polrestabes Surabaya.
Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari pola relasi dan interaksi sosial yang dibangun Gus Nur secara berjenjang, baik secara langsung melalui berbagai ceramah dan safari dakwah langsung, maupun melalui rekaman video yang diunggah di berbagai jejaring sosial media. Sisi Gus Nur, memiliki pesona tersendiri yang menempati dan mengisi ruang kosong hati masyarakat netizen.
Gus Nur, mampu menjembatani emosi dan aspirasi netizen tentang adanya penindasan dan kezaliman yang dipertontonkan rezim. Gus Nur mampu memangkas rantai birokrasi penyadaran umat, dengan memilih pilihan bahasa langsung, terbuka, to the poin, dan mendamprat wajah kezaliman rezim secara terbuka.
Gus Nur, mampu menyederhanakan kritik terhadap kezaliman dengan bahasa kaum jelata, bahasa kaum sudra, bahasa yang langsung mewakili suasana kebatinan umat. Tanpa basa basi, tanpa ewuh pakewuh, tanpa pakem dan setumpuk norma kultural yang menghambat diterimanya pesan.