Faktor Ekonomi dan Pendidikan Rendah Jadi Penyebab Perkawinan Usia Dini

Faktor Ekonomi dan Pendidikan Rendah Jadi Penyebab Perkawinan Usia Dini

Banyak alasan melangsungkan perkawinan usia muda salah satunya karena faktor ekonomi, namun di beberapa daerah justru ada yang menganjurkan melangsungkan pernikahan di usia dini


Perkawinan usia dini di wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra), hingga kini dinilai masih tergolong tinggi. Pelaksana Tugas Kepala BKKBN Sultra, Dr Mustakim Mustakim mengungkapkan, faktor ekonomi lemah dan rendahnya pendidikan bagi kalangan perempuan, menjadi penyebab utama tingginya angka perkawinan usia muda, berkisar antara 15 hingga 16 tahun.

Menurut dia, perkawinan di usia dini bagi perempuan, banyak terjadi di wilayah pedesaan, akibat tidak memiliki pekerjaan dan putus sekolah.

"Perkawinan usia dini di Sulawesi Tenggara, sudah terjadi selama 20 tahun lalu, indikasinya dengan memalsukan usia saat nikah, agar tidak melanggar undang-undang," katanya dilansir Antara, Minggu (20/1).

Mustakim menambahkan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang masih berlaku saat ini, masih mengakomodasi usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun laki-laki.

Karena kondisi ini, BKKBN sudah mengusulkan usia perkawinan ideal bagi perempuan 20 tahun ke atas dan usia 25 tahun ke atas untuk laki-laki.

Perkawinan usia muda bagi perempuan, banyak memiliki dampak negatif, di antaranya risiko kematian saat melahirkan dan timbulnya gangguan psikologis di lingkungan masyarakat.

Karena itu, peran orang tua juga menjadi penting untuk memberikan pendidikan mental spiritual bagi putra putrinya agar tetap mengedepankan pendidikan dan prestasi di usia dini. (merdeka)

Lain daerah lain pula alasannya simak ceritanya..

Menikah Dini Demi ‘Tradisi’
Pernikahan anak di Selo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah merupakan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun. Selo merupakan wilayah kecamatan paling terpencil dari Kabupaten Boyolali yang terletak di ‘celah’ gunung Merapi dan Merbabu.

Wilayah yang berada di ketinggian di atas 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu merupakan daerah subur untuk pertanian hortikultura dan tembakau.

Gunung Merbabu di lihat dari daerah Selo
Sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani ladang dan penambang pasir Merapi. Sebagian kecil lainnya terjun ke sektor wisata dengan menyewakan homestay hingga menjadi porter pendakian ke Merapi dan Merbabu.

Dalam pandangan masyarakat lokal yang kental dengan kultur tradisional-agraris, anak-anak selepas usia SMP sudah dianggap layak menikah dan membangun rumah tangga. Jika usia genap 17 tahun belum dilamar orang, sang gadis bisa dianggap 'tak laku' dan bisa menjadi aib bagi orang tuanya.

Masyarakat setempat yang umumnya berpendidikan rendah percaya bahwa menolak lamaran juga bisa menyebabkan anaknya sulit mendapat jodoh.

Di samping nikah siri, sebagian masyarakat di lereng Merapi masih melestarikan nikah sego. Pernikahan adat ini hanya ‘diresmikan’ dengan membuat nasi tumpeng dan mengundang saudara dan tetangga dekat. Lewat pesta kecil, pasangan mempelai diumumkan menjadi suami-istri tanpa perlu pencatatan negara.

Data milik Kantor Urusan Agama (KUA) Selo menunjukkan bahwa setiap tahunnya hampir setengah dari jumlah perkawinan yang tercatat di Kementerian Agama merupakan perkawinan anak. Artinya, salah satu calon atau keduanya dikategorikan sebagai anak karena belum cukup umur menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. (rappler)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel