Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar menyatakan, persyaratan pembebasan Abu Bakar Ba'asyir dengan memintanya untuk menandatangani surat pernyataan setia pada Pancasila dan NKRI tidak berbeda dengan praktik pemaksaan terhadap kelompok minoritas di sejumlah daerah.
"Pancasila itu bukan dalam bentuk naskah kayak kuitansi, karena surat-surat model kepada Pancasila, kembali kepada NKRI, ke jalan yang benar, itu juga justru yang dipakai ketika Anda maksa-maksa kelompok minoritas di berbagai tempat untuk dianggap dalam tanda kutip, sadar. Sering kan?," tutur Haris di Cikini, Jakarta Timur, Minggu (20/1).
Menurut Haris, Abu Bakar Ba'asyir sendiri sebelum menerima grasi pun memiliki sikap yang pancasilais. Persyaratan tandatangan itu menjadi tidak masuk akal.
Kemudian kalau memang untuk kemanusiaan, prosedur tandatangan itu menjadi cacat secara prosedural. Seharusnya alasan itu membuat Abu Bakar Baasyir dipermudah dalam proses pembebasannya.
"Jadi kalau mengukur Pancasila itu, ukur dari ekspresi-ekspresi lain. Bukan dalam bentuk surat. Enggak kurang-kurang kalau tandatangan setia, disumpah di depan presiden, disumpah pakai Alquran, kelakuannya korupsi semua (pejabat)," kata Haris.
Presiden Jokowi memberikan kebebasan kepada terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir dengan alasan kemanusiaan. Meski demikian, Ba'asyir menolak untuk menandatangani surat pernyataan untuk setia pada Pancasila dan NKRI sebagai salah satu persyaratan kebebasan.
Kuasa hukum Presiden Jokowi, Yusril Ihza Mahendra mengungkap alasan penolakan Ba'asyir meneken surat tersebut karena kepercayaan dan pendirian Ba'asyir hanya untuk hal diyakininya dalam agama Islam.
"Pak Yusril kalau suruh tandatangan itu saya tak mau bebas bersyarat, karena saya hanya patuh dan menyembah-Nya, inilah jalan yang datang dari Tuhan mu," kata Yusril menirukan perkataan Ba'asyir saat di Lapas Gunung Sindur, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. (Nanda Perdana Putra)