Jika bawahan yang salah, pasti pimpinan marah. Kemarahan imajiner tak terukur a la si Bahlul jika pimpinan ditipu bawahan dalam kasus tanah :
“Lu sodorin gue beli tanah busuk. Goblok lu! Emangnya uang nenek lu? Lu mestinya ngerti, kita punya tanah kosong di jalan MT, RSF, MPI dan banyak lagi. Lu pingin bangun RS ya tinggal manfaatkan tanah itu. Ngapain Lu beli tanah lagi? Lu doktor mau korup ya, jangan goblok! Taiklah lu, pokoknya gue nggak mau tanda tangan !! ” .
Atasan memarahi bawahan selama terukur adalah lumrah. Jika marahnya berlebihan dan cenderung keluar dari etika, seperti yang dibayangkan si Bahlul, jelas tidak lumrah. Sesungguhnya, setiap orang memiliki hawa nafsu untuk marah. Kemampuan mengelola tempat, waktu, cara dan keterukuran marah seseorang itulah yang disebut dengan kecerdasan emosional.
Sejauh mana kecerdasan emosional seseorang tergantung pada pola asuh dan pola kehidupan. Ketekoran dari keinginan untuk diakui, diperhatikan dan diapresiasi ketika masa lalu, akan dikejarnya secara ambisius yang terkadang tidak terkontrol dan pemarah. Bahkan, istri seorang pemimpin yang dominan, atau pemimpin yang takut istripun bisa membentuk pertahanan diri yang negatip saat menjabat.
Kembali kepada pokok persoalan. Wagub menyampaikan pembelian itu bukan inisiatip Gubernur Ahok. Lalu pembelian itu inisiatip siapa ? Bawahan kah? Tetapi, mengapa tidak terdengar ada bawahan yang dimarahi?
Mengapa Gubernur justru marah-marah dan menantang BPK? Mengapa Gubernur justru menantang agar BPK memeriksa kekayaan seorang anggota DPRD DKI yang kritisi kasus ini dan memeriksa terlepasnya aset ex kantor Walkot Jakbar ?
Selain pembelaan Wagub Djarot, kemarahan dan tantangan Gubernur kepada BPK terasa aneh. Tantangan kepada BPK tidak ada relevansinya dengan kasus pembelian tanah RS Sumber Waras. Tugas BPK bukan untuk memeriksa kekayaan seseorang. Tugas BPK memeriksa Laporan Keuangan insititusi pemerintah.
Ketika memeriksa Laporan Keuangan, BPK jelas sudah mengetahui, lepasnya aset ex kantor Walkot Jakbar, karena keputusan hukum yang harus ditaati. Kasus tersebut sudah melalui proses hukum sampai dengan putusan PK dari MA. Jika ada indikasi yang menyimpang tentu bisa diajukan sebagai kasus tersendiri ke institusi hukum, bukan BPK.
Kasus hilangnya aset ex kantor Walkot Jakbar harus menjadi pembelajaran terkait kasus taman BMW. Walau sudah bersertifikat, jika cara memperolehnya tidak benar, bisa dibatalkan.
Kekuasaan janganlah memaksakan kehendak untuk sertifikasi suatu tanah yang tidak lengkap dokumennya. Sebab, hal itu membawa konsekwensi berhadapannya Pemprov DKI dengan masyarakat.
Terkait kewajiban fasos-fasum pengembang, bisa jadi Pemprov DKI dibenturkan oleh pengembang untuk berkonflik dengan rakyat. Pengembang meloloskan diri dari konflik dengan masyarakat. Pengembang lolos dari membayar fasos-fasum sebagai kewajibannya. Kehati-hatian, kecerdasan dan tidak mudahnya terkooptasi oleh pengembang menjadi faktor penting.
Terkait pembelian sebagian tanah milik RS Sumber Waras, kiranya aparat penegak hukum bisa bertindak pada koridor hukum secara profesional. Di sisi lain, para pejabat Pemprov DKI harus jujur tanpa harus ada yang ditutupi dan dilindungi. Harus diingat barangsiapa menutupi atau melindungi tindak pidana bisa dipidana.
Penulis Prijanto Soemantri, Pengamat Masalah-Masalah di Pemprov DKI dan Mantan Wagub DKI Jakarta