Saat Wakil Perdana Menteri Cina Liu Yandong melakukan kunjungan bilateral ke Indonesia, ia sempat memberikan pidato sambutan di Auditorium FISIP UI, pada Rabu (27/5).
Dalam pidatonya, Yandong sempat menyatakan akan mengirimkan 10 juta warga negaranya untuk datang ke Indonesia demi mencapai kerjasama yang ideal antara Indonesia dan Cina dalam berbagai bidang. Jumlah 10 juta jiwa itu bukanlah suatu jumlah yang sedikit.
“Tiga mekanisme akan memimpin kerja sama di bidang keamanan politik, ekonomi dan perdagangan, serta humaniora,” kata Yandong.
Untuk mewujudkan hal itu, Liu Yandong dijadwalkan bertemu dengan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, untuk membahas kemungkinan tersebut.
Kerjasama bilateral Indonesia-Cina, menurut Yandong, menjadi begitu penting, mengingat jumlah penduduk kedua negara sangatlah besar. Apabila jumlah penduduk kedua neagara digabungkan maka akan mencapai 1.6 miliar jiwa yang merupakan seperempat dari total penduduk dunia.
“Kerja sama ini tidak hanya membawa kesejahteraan pada kedua negara, tetapi juga berkontribusi penting bagi Asia, bahkan dunia,” terang Yandong.
Menurut Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH), Hatta Taliwang, rencana tersebut berpeluang memunculkan isu-isu politik yang luar biasa dahsyat. Dan menimbulkan persaingan budaya antara Warga Cina dengan Pribumi. Terjadi pertarungan untuk mempertahankan siapa yang lebih dominan.
Rencana pemerintah Cina yang tampaknya akan disetujui pemerintahan Jokowi-JK ini harus bener-benar dicermati. Karena bisa menjadi sumber masalah baru bagi bangsa Indonesia kedepannya.
Mengingat jumlah 10 juta jiwa itu bukanlah suatu jumlah yang sedikit, dihawatirkan menjadi strategi Cina untuk menguasai Indonesia. Secara pelan memasukkan warga negara Cina ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada perannya di sektor-sektor strategis di Indonesia digantikan warga Cina. Hingga akhirnya pemilik Indonesia bukanlah orang-orang dari keturunan Nusantara, tapi adalah orang-orang Cina.
Rezim Joko-JK yang belum lagi genap setahun tampaknya sudah mengalami krisis kepercayaan dari rakyat. Penjelasan soal tenaga kerja asing, terutama dari Cina, yang dilontarkan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakhiri dan Menko Polkam Luhut B Pandjaitan mulai ditentang berbagai pihak.
Diungkapkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, pihaknya memiliki data soal banyaknya tenaga buruh kasar asal Cina di lima perusahaan di Jakarta. Mereka bekerja sebagai tukang gali batu, petugas keamanan, dan tukang masak. “Saya punya datanya di lima perusahaan di Ibu Kota, tapi enggak enak saya beberkan karena bisa dipecat nanti buru-buruh di perusahaan itu,” ujar Iqbal.
Para buruh kasar tersebut, tambahnya, saat ini tak hanya tersebar di Jakarta, tapi sudah merambah Banten, Kalimantan, dan sebagian Pulau Jawa. “Pemerintah mengklaim jumlah buruh kasar Cina hanya 0,05 persen, tapi itu bisa naik sampe 20 persen dari total angkatan kerja. Apalagi, ada kebijakan tidak diwajibkan berbahasa indonesia. Ini berbahaya,” katanya.
Sebelumnya, di Cilacap, Jawa Tengah, Forum Komunikasi Serikat Buruh dan Serikat Pekerja Cilacap mengancam akan melakukan sweeping terhadap pekerja asing yang ada di Kabupaten Cilacap. Alasannya, data-data yang dimiliki pemerintah soal pekerja asing tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. “Satu-satunya cara untuk mengetahui yang sebenarnya, ya, sweeping,” kata Ketua Forum Komunikasi Serikat Buruh dan Serikat Pekerja Cilacap, Agus Hidayat, Sabtu kemarin (5/9) sumber