Dengan usainya pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, menempatkan Jokowi sebagai presiden, maka berlangsung sebuah proses pengambilalihan Indonesia oleh Cina. Hal ini bukan tanpa sengaja. Tapi melalui sebuah langkah rekayasa yang sangat sistematik melalui tahapan-tahapan, dan sudah di mulai sejak Orde Baru, dimana Soeharto yang memiliki 'kroni' sejumlah 'taoke' Cina, masuk dalam lingkaran kekuasaannya, kemudian menjadi 'backbone' (tulangpunggung) Orde Baru.
Perginya Perdana Menteri Jepang Shinso Abe kembali ke negaranya saat menghadari konferensi AA di bandung tempo hari yang sedang berlangsung, menunjukkan indikasi bahwa Jepang yang menjandi sekutu Amerika sudah tak lagi merasa 'inhome' (nyaman) dengan dekatnya Indonesia kepada Cina.
Meskipun, Jepang merupakan negara yang paling besar investasisnya di Indonesia. Dengan penyerahan semua proyek infrastruktur oleh Jokowi kepada Presiden Cina Xi Jingping merupakan sebuah penegasan kepada dunia internasioanl, bahwa Jokowi sudah beralih patron (majikan) dari Washington ke Beijing. Indonesia akan menjadi tanah jajahan Cina.
Cina berarti bukan saja menguasai politik, tapi ekonomi, sumber daya alam, dan bahkan militer. Belum perlu langsung mendudukan orang Cina menjadi presiden, sementara ini, cukup orang-orang yang menjadi 'kepercayaannya' memegang kekuasaan dan kedaulatan di Indonesia. Orang seperti Jokowi, sudah bisa untuk melakukan konsolidasi.
Rakyat menjadi objek para 'taoke' Cina, dan harus selalu menerima beban kenaikan harga, sektor media dibuat untuk mengendalikan opini publik, mengubah pikiran rakyat, agar menjadi lebih sekuler dan pragmatis.
Masalahnya, mengapa bangsa ini rela dan menerima perbudakan dan penjajahan oleh Cina? Tak layak 250 juta rakyat Indonesia menyerahkan tanah tumpah darah mereka kepada Cina. Presiden Soekarno pernah melarang orang-orang Cina melakukan aktifitas ekonomi dan bertempat tinggal di kota Kabupaten melalui PP No.10. Tapi, itu hanyalah di zaman Soekarno, dan sekarang tinggal sebuah cerita lama.
Perhatikan baik baik foto almarhum kakek nenek moyang kita, mereka menaruh harapan agar kita punya kehormatan, bukan menjadi pelacur dan perampok. Orang yang takut jabatannya hilang, takut hartanya berkurang, sesungguhnya mereka tak beda seperti Banci kaleng...Bebaskan Indonesia dari penjajahan dan perbudakan Cina!
Kembali ke cerita anak dan cucu para konglomerat. lanjutan dari kiprah anak cucu konglomerat
Anthony Salim, Mochtar Riady, atau Eka Tjipta Widjaja, kini lebih asyik duduk manis melihat anak-anak atau cucu-cucu mereka mengelola bisnis yang didirikannya puluhan tahun lalu.
Lippo Grup
Lippo sekarang merambah di bisnis media, pemilik The Jakarta Globe, Investor Daily, Globe Asia, Berita Satu dan sebagainya. Selain di media, Grup Lippo juga kuat di Properti, Bank (CIMB Niaga), Retail (Matahari) dan e-commerce (mataharimall.com). mataharimall.com digadang-gadang akan jadi Alibabanya Indonesia. Toko Online shopping paling besar se Asia.
Michael Riady
Ada dua nama sebagai pewaris tahta bisnis di Grup Lippo yakni Michael Riady dan John Riady Keduanya merupakan anak James Riady dan cucu dari pendiri Grup Lippo, Mochtar Riady.
Saat ini, Michael menjabat sebagai Presiden Direktur St Moritz Penthouses Residences. Proyek properti fenomenal yang digarapnya nilainya tak main-main, lebih dari Rp 11 triliun.
John Riady
Penyandang gelar MBA dari Wharton School of Business, University of Pennsylvania ini masuk Lippo Group sejak 2007. Sebelumnya, John mengelola konten dan pemasaran Globe Asia. dia sempat bekerja sebagai bankir di Stephen Inc., Little Rock-Arkansas, AS.
Selain sibuk sebagai pebisnis, John yang meraih gelar juris doctor dari Columbia University Law School (2011) juga mengajar di fakultas hukum Universitas Pelita Harapan.
Pria berkacamata ini juga duduk sebagai Komisaris KADIN Indonesia Komite Amerika Serikat.
Dari berbagai sumber yang dihimpun