Para pejabat yang tega menjual bangsanya sendiri

Para pejabat yang tega menjual bangsanya sendiri


Cara ampuh membunuh ekonomi suatu negara adalah dengan memberikan utang besar-besaran. Tentunya, utang tersebut harus digunakan untuk membeli barang pemberi utang (kreditor). Dan jika barang tersebut sebenarnya tidak berguna bagi negeri penerima utang (debitor), kreditor tentunya tidak ambil pusing.

Ketika debitor mulai kesulitan membayar utang, kreditor tinggal meminta berbagai macam konsensi. Cara membunuh ekonomi seperti itu sebenarnya bukanlah suatu cara baru. Tahun 2004 John Perkins dalam bukunya “Confessions of an Economic Hit Man“ telah menjelaskan. Buku Perkins bukanlah novel khayalan, tapi berlandaskan pengalaman pribadinya.

Buku yang membuat heboh dunia ini terbilang unik. Jika kebanyakan buku ditulis oleh para pengamat atau orang ketiga, namun buku ini langsung ditulis oleh seorang “pelaku” atau “pemain” nya sendiri. Isinya pun terbilang “luar biasa”, mengungkap pengakuan tentang sepak terjang Perkins sebagai economic hit man yang berusaha menghancurkan negara-negara lain selama lima belas tahun.

Pada 1971, Perkins direkrut Chas T Main, sebuah firma konsultan asal Boston. Di firma itu, jebolan fakultas ekonomi ini, diangkat sebagai kepala ekonomi yang memimpin 50 orang staf. Chas T Main sendiri memiliki sekitar dua ribu orang pegawai.

Perkins dan sejumlah temannya memiliki sebutan sebagai economic hit man atau pembunuh ekonomi. Mereka bertugas di bawah Pengawasan Dewan Keamanan Nasional atau National Security Agency (NSA), salah satu lembaga keamanan dan intelijen terkemuka di AS.


Pinjaman luar negeri di mata pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Revrisond Baswir tidak lain sebagai akal bulus negara-negara besar kepada negara lain. Nawaitu memberikan utang kepada negara lain, menurutnya, bukan untuk membantu pembangunan, tapi untuk mengeruk kekayaan alam negara-negara tersebut, seperti Indonesia.

“Tak ada ceritanya utang luar negeri untuk membantu pembangunan negara. Hal ini tak lain merupakan proses pembohongan publik,” ujarnya, prihatin dengan sikap pemerintah yang terus menerus mengandalkan utang asing untuk pembangunan infrastruktur negara.

Bahkan, jika dilihat cara-caranya, politik imperialisme negara-negara besar, terutama AS, menurut Revrisond mirip dan sebangun dengan politik imperialisme yang dibangun kolonial Belanda saat menjajah Indonesia dulu.

Spirit dan tujuannya sama, namun komoditasnya saja yang berbeda. “Dulu Belanda mau berdagang rempah-rempah, tapi ia mencoba menguras Indonesia dengan mengambil keuntungan dari bisnis rempah-rempah, seperti gula dan perkebunan. Tapi AS, sejak tahun 1960-an lebih berorientasi ke sumber daya alam,” katanya.

Meski merasa gerah dengan politik kotor negara-negara besar, seperti AS, kepada negara-negara lain, namun ia meminta seluruh masyarakat jangan lengah terhadap orang-orang yang cenderung menjadi kaki tangan negara-negara besar yang beroperasi di Indonesia.

Ia berpendapat, negara-negara besar tidak akan berhasil “menjajah” Indonesia jika tidak ada orang-orang yang mendukungnya di Indonesia. “Karena kerja sama itu dilakukan dengan berbagai cara, jadi pejabat-pejabat yang terlibat dalam pembuatan utang luar negeri perlu diwaspadai,” ujarnya keras mengritik para pengamat ekonomi yang menjadi kaki tangan asing di Indonesia.


Dalam beroperasi, Perkins berkedok sebagai karyawan perusahaan konsultan ternama. Padahal perusahaan konsultan tersebut adalah kepanjangan tangan dari kepentingan Amerikas Serikat (AS). Perkins beroperasi di banyak negara, seperti, Indonesia, Panama, Iran, Columbia, Ekuador, dll

Di Indonesia, Perkins melakukan aksinya pada awal pemerintahan Soeharto. Dia datang dengan membawa program untuk meningkatkan elektrifikasi rakyat Indonesia dengan cara pemerintahan Soeharto harus membuat proyek pembangunan pembangkit listrik besar-besaran.

Tentunya dalam menjalankan operasi tersebut, Perkins melakukan lobi-lobi politik kepada pejabat pemerintahan Soeharto. Saking dasyatnya lobi Perkins, dia sampai diangkat dan terdaftar menjadi konsultan di Perusahaan Lisrik Negara (PLN).

Operasi Perkins berhasil, Indonesia mulai terlilit utang dengan Pemerintah AS dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Mulailah kebijakan-kebijakan pemerintahan Soeharto didikte oleh kepentingan asing.

Kini kejadian tersebut terulang kembali. Pemerintahan Jokowi, mempunyai program meningkatkan elektrifikasi rakyat Indonesia. Memang benar, elektrifikasi rakyat Indonesia dibandingkan negara-negara lain masih rendah, sehingga untuk meningkatnya dibutuhkan pembangunan pembangkit listrik besar-besaran.

Tidak tanggung-tanggung Presiden Jokowi menargetkan pembangunan pembangkit listrik mencapai 35.000 megawatt dalam lima tahun pemerintahannya. Tapi, sayangnya proyek pembangunan pembangkit listrik tersebut banyak menggunakan turbin dari negara Cina.

Berbeda dengan turbin dari AS, turbin dari Cina terbukti berkualitas buruk. Lihat saja, program 10.000 megawatt pemerintahan SBY berantakan karena menggunakan turbin pembangkit listrik dari Cina.

Kegagalan tersebut bukannya dijadikan pelajaran, tapi malah akan diulangi lagi. Saking gencarnya, proyek tidak layak dijalankan secara bisnis, seperti kereta api cepat Jakarta-Bandung pun Cina sangat getol untuk mendapatkannya.

Tidak hanya itu, Bank-bank BUMN kita juga digelontorkan dengan utang dalam jumlah besar oleh bank BUMN Cina, China Bank of Development.

Tentunya dengan mudah kita menyamakan operasi Cina dengan operasi John Perkins. Tujuannya jelas sama, ketika bangsa ini sudah mulai kesulitan membayar utang, maka kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia akan mudah diatur oleh Cina.

Metodenya pun sama yaitu dengan menjalankan lobi-lobi politik terhadap beberapa pejabat bangsa ini. Bila pajabat tersebut menolak keinginan mereka, jangan kaget kalau pejabat tersebut akhirnya dilengserkan.

Celakanya, kebanyakan pejabat sekarang tampak sudah tunduk dengan lobi-lobi dari Cina. Mereka tidak malu-malu berusaha untuk mengamankan berbagai proyek dari Cina. Wajar saja kalau publik mencurigai, bahwa ada konsensi terselubung diberikan Pemerintah Cina kepada pejabat-pejabat tersebut.

Mental para pejabat kita dari dulu sampai sekarang memang tidak berubah, selalu berusaha memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Tidak peduli bila nanti anak-cucu menanggung beban utang besar.

Bagi pejabat seperti itu, menjadi antek negara asing untuk membunuh ekonomi bangsanya sendiri tidak masalah sepanjang kekayaan pribadi terus bertambah.

John Perkins
Penerbit : Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco
ISBN : 1-57675-301-8
2004 250 halaman

Dari berbagai sumber.
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda