Aku terus mengangguk tanda setuju, tatkala suami menyampaikan keinginanya untuk menjemput ibunya agar tinggal bersama kami. Sejak kecil suamiku telah kehilangan ayahnya, dia adalah satu-satunya harapan ibunya.
Aku segera menyiapkan sebuah kamar yang menghadap taman untuk ibu dengan tujuan agar ibu dapat berjemur, atau apa saja sebagai kegiatannya agar tidak merasa bosan.
Dihalaman rumah dengan bermandikan sinar matahari pagi, tiba-tiba saja suamiku mengangkat tubuhku seperti dalam adegan film India dan berkata, " Niken ayo, kita jemput ibu di kampung sekarang...."
Suamiku berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang, ada suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku layaknya seperti sebuah boneka kecil yang kapan saja bisa diangkat dan dimasukan ke dalam sakunya.
Kalau terjadi selisih paham diantara kami, maka suamiku tiba-tiba suka mengangkatku kemudian diputar-putar badanku sampai aku berteriak ketakutan baru ia turunkan, aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.
Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya ibu tidak tahan dan berkata kepada suamiku, "Istrimu hidup foya-foya, buat apa beli bunga, bukankah bunga tidak bisa dimakan ?"
Aku menjelaskannya kepada ibu, "Ibu, rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira...", ibu diam dan berlalu sambil ngedumel, suamikupun angkat bicara sambil tertawa, "Ibu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa."
Ibu tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa bunga, ibu tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu, setiap mendengar jawabanku ibu selalu mencibir sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Setiap aku habis belanja, ibu selalu bertanya berapa harga barang-barang yang ku beli, dan setiap aku jawab, ibu selalu berdecak dengan suara keras...." uhh mahalnya..!"
Hiiiihhh, kadang-kadang kelakuan ibu mertuaku menjengkelkan, dia ingin menyamakan kehidupan di kampung dengan kehidupan di kota, tentu saja jauh berbeda !
Disaat sumiku melihat adegan ini dia pun lalu bicara padaku, "Niken..., kamu bisa berbohong, jangan katakan harga yang sebenarnya pada ibu jika membuat ibu merasa tidak suka dengan harga barang yang kamu beli" katanya.
Ibu sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi lalu menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, di mata ibu seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan.
Di meja makan, wajah ibu selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya. Mertuaku selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sendok atau garpu, sebagai tanda protes...
Ibu kadang suka membantuku didapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot, karena ibu suka mengumpulkan semua kantong-kantong plastik bekas belanjaan, Jadilah rumahku seperti tempat pemulung.
Kebiasaan ibu kalau mencuci piring bekas makan tidak menggunakan sabun pencuci, agar ibu tidak tersinggung, aku selalu mencucinya kembali pada saat ibu mertuaku sudah tidur.
Suatu hari, ibu mertua melihatku sedang mencuci piring yang telah di cucinya semalam, ibu segera masuk ke kamar sambil membanting pintu dan menangis.
Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orang bisu, aku coba bermanja-manja, tetapi suamiku diam tak bereaksi dia tak perduli padaku, akupun menjadi kecewa dan marah padanya.
"Apa salahku ?"
Suamiku melotot sambil berkata, "Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan dengan piring hasil cucian ibu tersebut bisa membuatmu mati ?"
Sejak kejadian itu, suamiku menjadi serba salah, tidak tahu harus berpihak pada siapa, ibu tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya.
Suatu kebahagiaan terpancar tampak dari wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemohku, seakan berkata dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri ?
Untuk menjaga suasana pagi hari agar tidak terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja. Ketika tidur, suamiku bertanya, "Nik, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah ?"
Sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yg mengalir di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata, "Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi." pintanya.
Pagi itu ibu memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada rasa mual, seakan isi perut mau keluar. Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai disana aku segera menumpahkan semua isi perut.
Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata tajam, diluar sana terdengar suara tangisan ibu dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam, membisu, sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!
Inilah pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan suami, ibu melihat kami dengan mata merah dan berjalan keluar meninggalkan kami, suamiku pun mengejarnya hingga keluar rumah...
Selama tiga hari suamiku tidak pulang dan tidak juga meneleponku. Aku sangat kecewa, padahal semenjak kedatangan ibu, aku sudah banyak mengalah.
Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya teman kantor memberi tahu, "Nik, sebaiknya kamu periksa ke dokter.", aku pun menurutinya, dan hasil pemeriksaan dokter menyatakan aku sedang hamil....
Sebuah berita gembira yang terselip namun juga kesedihan. Mengapa ibu sebagai orang yang berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu ?
Tiga hari tidak bertemu suami ternyata dia berubah drastis, wajahnya tampak kusut seperti kurang tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku menyapanya.
Dia menoleh ke arahku tetapi seakan tidak mengenaliku, pandangan matanya penuh dengan kebencian tentu saja membuatku kecewa. Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak.
Tadinya aku berharap akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi anganku tidak menjadi kenyataan, air mataku mengalir di pipi. Mengapa kesalah pahaman ini berakibat sangat buruk ?
Tengah malam, aku mendengar suara orang membuka laci, kemudian aku menyalakan lampu tampak suamiku sedang mengambil uang dan buku tabungannya.
Aku menatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku dan segera berlalu.
Mungkin dia sudah memutuskan untuk meninggalkan aku. Sungguh lelaki yang sangat picik, pada situasi seperti sekarang, dia masih bisa membedakan antara cinta dengan uang. Aku pun tersenyum hampa.
Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya membereskan masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan akupun pergi mencari suamiku di kantornya.
Di kantor aku bertemu dengan seketarisnya dan melihatku dengan wajah bingung. "Ibunya pak Dody baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas, dan dia berada di rumah sakit !" Aku kaget, tanpa banyak tanya, akupun segera menyusul ke rumah sakit dan saat berjumpa, ternyata ibunya sudah meninggal.
Suamiku tidak mau menatapku, wajahnya kuyu. Aku memandang jasad ibunya yang terbujur kaku. Tuhan, mengapa ini bisa terjadi ?
Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak mau bertegur sapa denganku lagi, jika memandangku selalu dengan pandangan sinis dan penuh kebencian.
Peristiwa kecelakaan itu aku mendengar dari orang lain, pagi itu ibunya berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung. Suamiku mengejar sambil berlari, ibunya pun berlari, sampai tidak melihat sebuah bus yang datang ke arahnya dengan kecepatan tinggi, kemudian menabraknya.
Aku baru menyadari mengapa pandangan suamiku penuh dengan kebencian padaku. dipikiranya, akulah penyebab kematian ibunya...!!! Jika aku tidak muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar, tapi semua sudah terjadi.
Suamiku pindah ke kamar ibunya, dan setiap malam badannya selalu penuh dengan bau asap rokok dan alkohol.
Aku merasa bersalah tetapi juga merasa harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salahku dan juga ingin memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak.
Waktu berjalan dengan sangat lambat. Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain. setiap hari suami pulang semakin larut malam.
Sudah hampir sebulan lamanya suamiku tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi. Sepeninggal ibu mertua, rajutan cinta kasih kami seakan telah berakhir. Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang diri, setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check kandungan bersama, hati ini serasa semakin hancur.
Teman-teman menyarankan agar aku menggugurkan kandunganku, tetapi aku tetap mempertahankannya. Ini sebagai pembuktian kepada suamiku bahwa aku tidak bersalah.
Suatu hari sepulang kerja, aku melihat dia duduk di ruang tamu. Ruangannya penuh dengan asap rokok dan kulihat ada selembar kertas diatas meja, tidak perlu tanya aku juga tahu surat apa itu. Dua bulan hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi.
"Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya". Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan demikian juga aku.
Aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia memperhatikan perutku yang agak membuncit. Sambil duduk di kursi, aku menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya.
"Niken, kamu hamil ?". tanyanya padaku.
Semenjak ibunya meninggal, itulah pertama kali dia bicara kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku, air mataku pun tumpah. Aku menjawab, "Iya, tetapi tidak apa-apa, Kamu boleh pergi sekarang." Akan tetapi dia tidak pergi, di keremangan ruang tamu kami saling berpandangan.
Perlahan-lahan dia membungkukan badannya ke tanganku, air matanya terasa hangat menembus lengan bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yang sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.
Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua makanan pemberianya, tidak menerima semua hadiah pemberiannya tidak juga berbicara lagi dengannya, semua cintaku padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.
Suatu malam, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan suara yg keras. Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur.
Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat dingin yang mengalir di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang bersalin. aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa lagi yang mencintaiku sedemikian rupa jika bukan dia ?
Sampai dipintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang, saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih sempat tersenyum padanya. Aku memegang tangannya, dia membalas memandangku, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke lantai dia pingsan. Aku berteriak histeris memanggil namanya.
Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit saat ini.
Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah mukjijat. Aku bertanya kapan kanker itu terdeteksi? 5 bulan yang lalu kata dokter, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk.
Aku tidak lagi perduli dengan nasehat perawat agar tinggal di rumah sakit dulu, aku segera pulang ke rumah dan ke bekas kamar ibu mertua lalu menyalakan komputer. Aku ingin mengetahuinya apa yg ditulis setiap malam di dalam kamar itu. Setelah komputer menyala, ternyata ada sebuah file surat yang sangat panjang tertulis disitu yang ditujukan kepada anak kami.
"Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah harapanku. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Didalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yang akan kamu hadapi.
Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah. Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun-tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yang paling mencintaimu dan dialah orang yang paling ayah cintai".
"Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yang paling bahagia aku rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang penyakit ku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya.
Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau telah memaafkanku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini. Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan untuk memberikannya pada anak kita. Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian padanya"
Aku menggendong anak kami dan membaringkannya diatas dadanya sambil berkata, "Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya".
Dengan susah payah dia membuka matanya, tersenyum, anak itu tetap dalam dekapannya, dengan tangannya yang mungil memegangi tangan ayahnya yang kurus dan lemah. Tidak tahu aku sudah menjepret berapa kali momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai air mata.
Bila kamu sudah menemukan dan melihat Matahari dalam kehidupanmu...pergi, lihat dan jangan pernah meninggalkannya