Untold story Jakarta undercover menelusuri lorong perjudian

Untold story Jakarta undercover menelusuri lorong perjudian

Di Gedung ITC Mangga Dua, beberapa bandar besar seperti Tomy Winata, Engsan, Yasmin, Chandra dan David berkolaborasi membangun usaha dan jaringan


Jarum jam sudah bergerak ke angka 01.00 WIB, Sabtu dini hari. Malam pun kian larut dan menebar hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Namun, beberapa sudut Kota Jakarta tetap saja "panas" dan berdenyut. Sebuah siklus sosial yang tetap hidup.


Jakarta memang tak pernah "mati" dari kehidupan malam, terutama bagi mereka yang doyan dengan dunia hiburan dan perjudian. Datanglah ke Hotel Prinsen Park, Kawasan Lokasari, atau Rajamas Gedung HWI Lindeteves kawasan Glodok Jakarta Barat.

Siapa pun bisa gambling dan mengadu nasib di tempat usaha milik Rudi atau kalangan penjudi sering memanggilnya dengan sebutan Rudi Raja Mas. Cukup dengan menitipkan Rp 1 juta di pintu masuk sebagai deposit, pengunjung bisa terlibat dalam kegiatan di dalam. Pernah menonton film God of Gamblers ? Persis begitulah suasana di dalamnya. Ada puluhan meja rolet, kasino, dan ratusan mesin mickey mouse.


Dari tiga lokasi perjudian itu, Rudi bisa menyedot Rp 5 miliar per malam. Hitung saja kalau di dikalikan 30 hari. Maka, tak kurang dari Rp 150 miliar per bulan. Berjudi bukanlah hal yang sulit di Jakarta.

Setelah Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan izin judi pada pertengahan tahun 1967, berlombalah orang membuka bisnis yang menurut ajaran agama Islam dilarang. Ketika itu para penjudi alias junket sudah menghambur-hamburkan rupiah di beberapa lokasi perjudian.

Misalnya di Petak IX, Copacobana, Jakarta Theatre, dan Lofto Fair Hailai Ancol Jakarta Utara. Dari lokasi itu, para bandar bisa meraup Rp 10 miliar-Rp 15 miliar per malam.

Ada beberapa pengusaha Cina yang jadi primadona di bisnis ini. Sebut saja Jan Darmadi alias Apiang Jinggo (kini jadi staf Jokowi). Selain memiliki saham di empat lokasi perjudian tadi, Apiang juga membuka kasino di Surabaya.

Jaringan mafia judi di Jakarta ini makin meluaskan usahanya ke seluruh Indonesia dalam konfigurasi Sembilan Naga. Jaringan ini mirip dengan Triad di Hong Kong dan Makau.

Merekalah yang menguasai dan yang mengatur lokasi perjudian. Mereka membentuk satuan "pengamanan" yang mengikutsertakan jasa centeng amatir sampai jenderal profesional.

Mulai dari kelas kakap hingga kelas teri. Dari yang terbuka, seperti toto gelap (togel), sampai yang tertutup (kasino dan rolet). Semua itu bertebaran di setiap sudut Jakarta. Sementara kota-kota besar lainnya, seperti Medan, Riau, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya dan Manado, juga tak kalah gesit.

Menurut mantan raja judi Anton Medan, tempat bermain judi terbesar di Jakarta ada di Gedung ITC Mangga Dua. Di situ, beberapa bandar besar seperti Tomy Winata, Engsan, Yasmin, Chandra dan David berkolaborasi membangun usaha dan jaringan. Jaringan ini yang disebut "Sembilan Naga" tadi.

Selain Tomy Winata, Engsan, Yasmin dan David, masih ada Apow, pemilik rumah judi mickey mouse (MM) di Pancoran (Glodok), Jalan Boulevard (Kelapa Gading), Kasturi di Mangga Besar, Ruko Blok A di Green Garden serta di Jalan Kejayaan, Jakarta Barat.


Tugas jaringan ini mengatur wilayah Jakarta maupun seluruh Indonesia, termasuk pengaturan pembagian upeti bagi sejumlah oknum pejabat tinggi TNI, Polri, Pemda, sejumlah ormas dan wartawan.

Pembagian uang pengaman..
Setelah dipotong modal pemilik saham, sisanya di bagikan ke seluruh jaringan pengamanani. Ada yang per sepuluh hari, per bulan, atau per minggu. Pemberian upeti untuk pejabat militer, kepolisian, atau pemda, membuat bisnis ini kian kuat.

Sumber: Internet.

Baca Juga :
Dunia remang-remang kehidupan para pengusaha Cina di Indonesia
Apiang Jinggo alias Yan Darmadi merupakan raja judi pertama

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda