Madura hari ini dan mungkin kedepan, adalah potret hitam dari sekian daerah di Indonesia sebagai Absence of Lord. “Tuan tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri,” banyak warganya merantau serta mengais penghidupan entah kemana, Sementara, Sumber Daya Alamnya sendiri di nikmati oleh orang-orang luar yang menjarah.
Hingga saat ini, stigma buruk perihal (orang) Madura begitu melekat di masyarakat sebagai sosok temperamen, suka carok, penjual sate, bisnis besi tua, dll selain ujud pembunuhan karakter juga mengubur kesejatian Madura dalam sejarah.
Padahal bila menelusur sejarah Madura, kita seperti menguak kejayaan masa lalu sebuah wilayah yang lengkap secara geografi, Madura dikeliling laut, ada pertanian, perkebunan, hutan, tembakau, wisata, kopi, garam, MIGAS, dan terutama sumberdaya manusia yang memiliki kharakter.
Blok West Madura di utara Bangkalan misalnya, setiap hari menghasilkan 14 ribu barel, atau senilai USD 1,4 juta. Belum lagi gas alam sebanyak 113 juta kaki-kubik dengan harga USD 2,8 per-meter/kubik. Hal ini belum termasuk hasil dari blok-blok lain. Betapa kayanya Madura!
Blok West Madura di utara Bangkalan misalnya, setiap hari menghasilkan 14 ribu barel, atau senilai USD 1,4 juta. Belum lagi gas alam sebanyak 113 juta kaki-kubik dengan harga USD 2,8 per-meter/kubik. Hal ini belum termasuk hasil dari blok-blok lain. Betapa kayanya Madura!
Dalam kitab Nagara Kertagama pada tembang 15 mengatakan, dulunya Pulau Madura itu bersatu dengan tanah Jawa. Hal ini mencerminkan bahwa dekade 1365-an dulu, orang Madura dan Jawa merupakan satu komonitas budaya.
Sejarah mencatat, Aria Wiraraja adalah Adipati Pertama di Madura. Ia diangkat oleh Raja Kertanegara dari Singosari tahun 1269. Pemerintahannya berpusat di Batuputih Sumenep, keraton pertama di Madura. Pengangkatan Aria Wiraraja sebagai Adipati I Madura pada waktu itu, diduga berlangsung dengan upacara kebesaran ala Singosari yang dibawa ke Madura.
Di Batuputih yang kini menjadi sebuah kecamatan, sekitar 18 km dari Kota Sumenep, terdapat peninggalan Keraton Batuputih berupa tarian-tarian rakyat, seperti Tari Gambuh, Tari Satria, dll.
Madura tempo doeloe dan kini jauh berbeda. Kondisinya berbalik 180 derajat. Apabila dulu dikenal sebagai “bangsa” pedagang internasional, kaum negarawan, para musafir hingga tokoh agama, namun sejak Abad ke-19 predikat tersebut mulai luntur dan satu persatu citra Madura tergantikan oleh stigma buruk sebagaimana digambarkan sekilas di atas. Betapa ironi bila dibanding potret lama yang harum di setiap pelosok negeri, bahkan dunia.
Akankah generasi muda Madura sekarang ini mampu menggali kembali kearifan lokal yang dahulu pernah mengiringi kejayaan daerah bahkan nusantara ?