Mencari kenikmatan sebanyak mungkin terlepas ada yang senang atau tidak

Mencari kenikmatan sebanyak mungkin terlepas ada yang senang atau tidak

Bagi para penganut paham Hedonisme, kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. terlepas itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak.


  • Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, terlepas itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak.
Sekelompok remaja, sebagian masih berseragam sekolah, duduk lesehan di emperan gerai "7-Eleven" di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Melepas tawa, sesekali mereka menyeruput "Slurpee", minuman soda dingin dan melahap hotdog Big Bite di tengah udara panas dan suara bising oleh lalu lalang kendaraan di sekitarnya.


Gerai asal Amerika ini berhasil "menyihir" ribuan remaja kota besar untuk mengecap gaya hidup modern hang-out alias nongkrong.  Sambil nongkrong, mereka pamer gadget terbaru, dari ponsel pintar.

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan anak-anak dan kalangan muda (ABG), bahkan setiap saat mereka bisa mengakses informasi yang dibutuhkan melalui telepon selulernya.

Di satu sisi, globalisasi membawa dampak yang positif bagi masyarakat, namun disisi lain globalisasi dapat menimbulkan dampak negatif seperti dis-orientasi, dislokasi, atau krisis sosial-budaya dalam masyarakat, serta semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme dan hedonisme.

Saat ini, konsumerisme tidak hanya terjadi di perkotaan, namun sudah merambah ke pedesaan.

Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Tujuan paham aliran ini, untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia. Kala itu, hedonisme masih mempunyai arti positif.

Dalam perkembangannya, penganut paham ini mencari kebahagiaan berefek panjang tanpa disertai penderitaan. Mereka menjalani berbagai praktik asketis, seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa agar mendapat kebahagiaan sejati.

Namun, pada waktu kekaisaran Romawi menguasai seluruh Eropa dan Afrika, paham ini mengalami pergeseran ke arah negatif dalam semboyan baru hedonisme.

Semboyan baru itu, carpe diem (raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi kamu hidup), menjiwai tiap hembusan napas aliran tersebut. Kebahagiaan dipahami sebagai kenikmatan belaka tanpa mempunyai arti mendalam.

Menurut Aristoteles dalam Russell (2004:243) kenikmatan berbeda dengan kebahagiaan, sebab tak mungkin ada kebahagiaan tanpa kenikmatan. Yang mengatakan tiga pandangan tentang kenikmatan: (1) bahwa semua kenikmatan tidak baik; (2) bahwa beberapa kenikmatan baik, namun sebagian besar buruk; (3) bahwa kenikmatan baik, namun bukan yang terbaik.


Konsumerisme menjadi topik menarik dalam masa kekinian ketika dikaitkan dengan fenomena remaja sekarang. Jika dulu René Descartes menyatakan eksistensi manusia dengan jargon Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada, maka remaja sekarang akan mengatakan Emo Ergo Sum, aku belanja maka aku ada. Belanja menjadi semacam eksistensi remaja untuk bisa diteria dikelompoknya.


Pola hidup konsumerisme telah terbentuk pada anak muda, bahkan sejak usia dini. Sejak mereka mulai berangkat remaja sudah dicekoki oleh berbagai iklan, promosi soal gaul dan tidak gaul kalau tidak menggunakan merek ini atau itu.

Ditambah tayangan film sinetron di televisi mengumbar kekayaan dan gaya hidup mewah mendorong anak-anak untuk meniru.

Itulah salah satu keberhasilan media khususnya televisi dalam menanamkan `citra" tertentu pada produk sehingga kalau tidak pakai produk A, maka disebutlah norak.

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda