Kontroversi Proyek reklamasi Teluk Jakarta terjadi sejak dimulai awal ide ini digulirkan pun kembali menjadi perdebatan. Terlebih sejak tertangkapnya pejabat DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi karena menerima suap dari PT Agung Podomoro Land yang merupakan salah satu pengembang proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Kendati dipersoalkan karena dampak lingkungan, proyek reklamasi Teluk Jakarta tetap berjalan. Wacana reklamasi digulirkan dengan alasan menambah luasan wilayah ibukota dan untuk mengantisipasi perkembangan ibukota.
Pada awal 1980-an, pengeringan lahan melalui pengurukan atau yang dikenal dengan drainase mulai digunakan untuk mereklamasi kawasan Pantai Pluit melalui PT Harapan Indah dengan menimbun kawasan tersebut untuk dijadikan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan Pantai Mutiara.
Kemudian pada tahun 1981 giliran kawasan Ancol sisi utara yang direklamasi, oleh PT Pembangunan Jaya untuk kawasan industri dan rekreasi. Hutan bakau di kawasan Kapuk menyusul direklamasi pada sepuluh tahun kemudian untuk permukiman mewah Pantai Indah Kapuk.
Reklamasi untuk kawasan industri juga kembali terjadi pada tahun 1995 yang dikenal dengan nama Kawasan Berikat Marunda. Dampak reklamasi saat itu sudah terasa dan banyak menimbulkan perdebatan. Tenggelamnya beberapa pulau di Kepulauan Seribu yang diduga akibat adanya pengerukan dan pengambilan pasir yang digunakan untuk menimbun kawasan reklamasi Ancol adalah salah satunya.
Namun dampak tersebut tidak mempengaruhi kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang pada saat itu dipimpin Gubernur Wiyogo Atmodarminto, upaya reklamasi tetap berjalan.
Terbukti dengan dipaparkannya rencana perluasan wilayah ibukota melalui reklamasi seluas 2.700 hektare pada Maret 1995 di hadapan presiden Soeharto.
Akhirnya terbitlah Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1955 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995 yang jelas-jelas bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005 yang sama sekali tidak menyinggung adanya reklamasi.
Perdebatan pun semakin kencang, persinggungan aturan antara Pemrov DKI yang bersikeras tetap melaksanakan proyek reklamasi dengan Kementerian Lingkungan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa reklamasi harus dihentikan karena merusak lingkungan.
Dikeluarkannya SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 mengenai ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta pun tidak menghentikan rencana Pemprov DKI untuk tetap melanjutkan proyek reklamasi.
Aturan tersebut justru memicu gugatan yang dilakukan oleh enam pengembang yang memperoleh jatah reklamasi ke PTUN yang akhirnya gugatan tersebut dimenangkan oleh para pengembang.
Keberatan atas keputusan PTUN yang memenangkan gugatan enam pengembang proyek reklamasi pun dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup yang mengajukan banding. Namun PTTUN tetap memenangkan gugatan pengembang, hingga pada Juli 2009 Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan kasasi melalui Mahkamah Agung yang akhirnya dikabulkan dan menyatakan bahwa proyek reklamasi tersebut menyalahi aturan dampak lingkungan.
Namun Keputusan Mahkamah Agung kemudian justru berubah pada tahun 2011 yang melegalkan adanya proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta dengan syarat Pemprov DKI membuat kajian amdal baru untuk memperbaharui kajian amdal yang diajukan pada tahun 2003.
Proses pembuatan kajian amdal terbaru ini membuat rencana reklamasi terkatung-katung karena terbentur dengan berbagai aturan, hingga kemudian keluar Pepres yang diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Pepres Nomor 122 Tahun 2012 oleh SBY itu isinya menyetujui praktik-praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta melalui reklamasi.
Pemprov DKI melalui Gubernur Fauzi Bowo kembali mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 yang berupa pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra yang semakin mengukuhkan rencana reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Namun Keputusan gubernur tersebut ditentang oleh Kementerian Lingkungan Hidup karena merasa kewenangan pemberian izin di area laut strategis itu adalah wewenang Kementerian Lingkungan Hidup. Keberatan terhadap pemberian izin reklamasi Pulau G pun dilakukan oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman yang meminta pengembang untuk melakukan kajian ilmiah terkait rencana reklamasi Pulau G.
Hingga kemudian keluarlah moratorium atau penghentian sementara proyek reklamasi. Dalam moratorium tersebut dinyatakan bahwa reklamasi hanya boleh dilakukan untuk pelabuhan, bandara dan listrik, jika reklamasi dilakukan untuk hotel, apartemen, mall maka proyek reklamasi tidak boleh dilakukan dan harus dihentikan.
Keluarnya moratorium tersebut ternyata hanya dianggap angin lalu oleh Pemprov DKI yang pada Oktober 2015 mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pupau reklamasi yaitu pulau O,P dan Q yang nantinya akan terintegrasi dengan Pulau N sebagai bagian dari pembangunan
Sepuluh tahun sudah wacana reklamasi bergulir sejak jaman Orde Baru, hingga kini perdebatan terus berlangsung. Perdebatan yang muncul antara pihak-pihak yang mendukung rencana reklamasi tersebut dengan pihak-pihak yang menentang.
Penambahan ruang adalah alasan kuat yang digunakan oleh pihak yang mendukung reklamasi, selain itu dengan adanya reklamasi diharapkan akan menjadi pemasukan PAD DKI yang bisa digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh di DKI Jakarta.
Sementara pihak-pihak yang menentang adanya reklamasi pantai utara Jakarta berpendapat kerusakan lingkungan berupa hancurnya ekosistem pesisir seperti hilangnya ekosistem bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan akibat reklamasi merupakan kerugian terbesar.
Selain persoalan lingkungan yang timbul akibat reklamasi, dampak sosial berupa hilangnya mata pencaharian bagi ribuan nelayan Jakarta Utara juga menjadi sorotan.
Ada sekitar 125.000 nelayan yang tinggal di kawasan pesisir Jakarta Utara yang dikhawatirkan akan kehilangan mata pencaharian yang bisa berakibat pada semakin miskinnya kehidupan nelayan pesisir Jakarta.
Banyaknya dampak negatif yang timbul akibat reklamasi memunculkan pendapat bahwa proyek reklamasi hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja yang akan meraup keuntungan trilliunan rupiah dari penjualan lahan-lahan yang sudah direklamasi. (Edy Susanto)