Mayoritas warga Inggris Raya memantapkan pilihan untuk meninggalkan Uni Eropa (UE). Ini bukan langkah sederhana karena Inggris tergabung dengan UE sejak 1973. Banyak hal harus diubah dan dampak bakal terasa di beragam sektor.
What happens when Britain leaves the EU, In the short run, uncertainty about Britain’s future relationship with the EU, its largest trading partner, could push the UK into a recession.
The British pound has lost about 9 percent of its value since Thursday's vote, and Britain's FTSE 100 stock index lost 3 percent of its value in Friday trading. When you consider that the FTSE is priced in pounds, that means British stocks are down more than 10 percent in real terms.Salah satunya adalah sektor industri teknologi informasi (IT). Akibat Brexit (British Exit), sektor ini diperkirkan akan mengalami perlambatan karena para pelaku industri meramal Inggris akan kehilangan akses tenaga kerja berkualitas tinggi dari negara lain terutama dari UE.
Dilansir CNN Money, pekan lalu (21/6/2016), ramalan tersebut diperkuat studi terbaru yang dilakukan Tech London Advocates. Hampir 80 persen pekerja di bidang teknologi yakin bahwa Brexit akan membuat Inggris tak mampu mengimbangi perkembangan teknologi yang ada.
Padahal saat ini ada lebih dari 1,5 juta orang yang bekerja di bidang teknologi di Inggris. Industri tersebut mengalami perkembangan paling pesat, sekitar tiga kali lebih cepat dibanding sektor lain.
Perusahaan rintisan Wayra juga mengatakan sekitar satu dari tiga orang pekerja di berbagai perusahaan rintisan Inggris berasal dari luar negeri. Hasil studi ini tercantum dalam laporan yang diterbitkan tahun lalu.
Tak hanya itu, masalah distribusi pasar Inggris juga mengkerut. Selama ini melalui keterikatan dengan UE, Inggris memiliki kemudahan untuk mendistribusikan barang ke 27 negara anggota UE.
Meskipun dibutuhkan waktu setidaknya dua tahun hingga keputusan Brexit diimplementasikan, tidak butuh waktu lama bagi vendor elektronik semisal Samsung, LG, dan Acer untuk mulai memikirkan langkah berikutnya. Digital Trends (25/6) menulis bukan tidak mungkin mereka angkat kaki dari Inggris.
Ada beberapa faktor yang mendorong para vendor ini untuk menghentikan investasi di sana. Pertama, masalah pajak barang impor produksi negara UE. Atas alasan ini Samsung dan LG berpikir untuk memindahkan kantor pusatnya ke negara lain yang masih tergabung dengan UE.
Samsung Inggris selama ini mendapat distribusi barang dari pabrik di Polandia, dengan tambahan dari pabrik di Slovakia dan Hungaria. Sedangkan LG untuk regional Eropa menggantungkan diri pada pusat produksi di Polandia.
Alasan lain yang mendorong pelaku industri teknologi tersebut, terutama Acer adalah melemahnya mata uang poundsterling. Hal ini akan membuat harga produk dan komponen elektronik semakin mahal sehingga daya beli pasar melemah.
Dalam wawancara dengan Digi Times, CEO Acer Jason Chen, mengatakan perusahaannya akan secara intensif mengamati dampak yang dipilih Inggris ke bisnis Acer. Kebetulan 30 persen total pendapatan Acer datang dari pasar Eropa.
Sebagai informasi, mulai 2013 hingga 2015, penjualan Samsung dan LG di pasar Eropa menurun. Samsung mengalami penurunan total penjualan dari 21,2 menjadi 12,8 persen pada tahun lalu. Sedangkan LG dari 11,2 persen menjadi 10,3 persen untuk kategori yang sama.
Dunia ilmiah bisa krisis dana
Di balik referendum Brexit, 83 persen dari 907 orang ilmuwan di Inggris menyatakan tidak setuju alias kontra. Menurut Tech Times (25/6), salah seorang dari 159 ilmuwan di Royal Society yang kontra Brexit adalah Stephen Hawking.
Sejak Maret, para ilmuwan Royal Society di University of Cambridge menganggap gerakan Brexit sebagai bencana bagi sektor sains Inggris. Brexit mengancam pendanaan dan inovasi serta diyakini dapat menghentikan migrasi para ilmuwan muda berpotensi secara bebas dari 27 negara UE.
UE rutin memberi dana besar untuk penelitian ilmiah dan teknologi bagi para negara anggotanya. UE mengalokasi 16 persen dana untuk perguruan tinggi Inggris.
16 persen per tahun berarti setara USD1,37 miliar (Rp18,27 triliun). Bahkan 40 persen dana penelitian kanker datang dari UE.
Inggris Raya memang berkontribusi sekitar EUR5,4 miliar (Rp79,84 triliun) untuk aktivitas riset dan pengembangan pada kurun 2007-2013. Tapi sebagai balasan, UE memberi Inggris Raya EUR8,8 miliar (Rp129,62 triliun) dalam bentuk beasiswa untuk kegiatan riset, pengembangan, dan aktivitas inovasi lain.
Para ilmuwan berpikir tanpa asosiasi, para partisipan harus membayar sendiri agar bisa ikut serta di dalam proyek penelitian UE. Komunitas ilmuwan di Inggris bergantung pada dana tersebut untuk penelitian publik. Maka, adanya pemotongan dana setelah Brexit dikhawatirkan bisa meruntuhkan bidang penelitian ilmiah di Inggris.
Namun para pendukung Brexit berpendapat bahwa para penyumbang pajak di Inggris sebaiknya lebih berkontribusi untuk negaranya sendiri, bukan bergantung pada UE.
Para pendukung Brexit bersikeras bahwa masyarakat Inggris harus tetap bisa melanjutkan partisipasi di penelitian kawasan Eropa, tanpa membawa embel-embel persetujuan asosiasi. (sak karepmu leh)