Raja Keraton Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengeluarkan Sabdaraja kedua di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta pada 30 April 2015. Pembacaan Sabdaraja kedua itu dilakukan berlangsung tertutup. Hanya keluarga dan abdi dalam keraton yang menghadirinya.
Dalam sabdanya, Sultan mengangkat putri pertamanya Gusti Kanjeng Ratu Pembayun sebagai putri mahkota penerus tahta kerajaan Yogyakarta. Pengangkatan tersebut dilakukan ditandai dengan mengganti nama putri sulungnya itu.
Dalam sabda tersebut nama Gusti Kanjeng Ratu Pembayun kini berubah menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
Terkait dengan perubahan nama itu juga, Sultan mengeluarkan perintah untuk mengubah nama Buwono menjadi Bawono. Sebab nama Buwono biasanya digunakan untuk laki-laki.
Sejumlah kalangan curiga, langkah itu merupakan upaya raja yang tidak memiliki anak laki-laki ini menurunkan kekuasaannya kepada anak kandungnya, bukan kepada adik laki-lakinya. Pengantian tersebut dianggap tidak lebih dari urusan internal keluarga Sultan Hamengku Buwono X.
Salah satu hal yang menjadi pemicu kecurigaan tersebut, karena ada 11 putra Sultan Hamengku Buwono IX yang dianggap lebih berhak menjadi putra mahkota.
Tetapi tidak dilibatkan dalam proses penggantian nama tersebut. Pengangkatan wanita menjadi raja itu dianggap menjadi hal yang pertama kali terjadi di Keraton Yogyakarta.
Karena hal tersebut, adik-adik Sultan Hamengku Buwono X mengangap pemimpin Daerah Istimewa Jogjakarta itu kini telah meninggalkan tradisi demokratis yang ditanamkan pendahulunya, yakni Hamengku Buwono IX.
Elemen masyarakat Jogjakarta mulai berani menolak Sabdaraja dan Dawuhraja yang dibacakan Raja Keraton Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X. Selama ini, warga terkesan “malu-malu” mengungkapkan penolakannya secara terbuka.
Seusai salat Jumat (15/5) di Masjid Kagungan Dalem, Masjid Agung Gedhe Keraton Jogjakarta, mereka menggelar tablig akbar dan menyatakan sikap. Tablig dan pembacaan pernyataan sikap Warga Kauman Jogjakarta dibacakan Heru Syafruddin Amali, yang masih keturunan RH Sangidu atau Kanjeng Kyai Penghulu Muhammad Kamaludiningrat dan masih keturunan Ki Ageng Pemanahan.
Ada sejumlah poin yang disampaikan antara lain menolak perubahan nama Buwono menjadi Bawono dan penghapusan gelar Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah.
Dia mengungkapkan, gelar tersebut adalah satu kesatuan dengan Keraton Jogjakarta sebagai Mataram Islam. “Dengan menghilangkan Khalifatullah dalam gelar Sultan yang bertakhta, berarti sudah tidak mengakui asal usul leluhur sebagai cikal bakal berdirinya Keraton Jogjakarta,” ujarnya.
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Isti’anah mengatakan Sabda Raja dan Dawuh Raja merupakan kewenangan Sultan yang berlaku untuk internal Kraton. Demikian dengan upaya hukum yang dilakukan adik-adik Sultan yang tidak menyetujui kedua sabda Sultan, menurutnya, juga sah sah saja.
Isti’anah berpendapat, Sabda Raja dan Dawuh Raja yang dikeluarkan Sultan jika ingin diimplementasikan harus mengubah Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY No 13/2012.
Menurut dia, yang berhak mengubah UUK adalah DPR RI dan pemerintah pusat. Sepanjang belum ada perubahan, UUK tetap berlaku, nama Sultan tetap Hamengku Buwono dengan gelar khalifatullah, dan syarat-syarat calon Gubernur DIY yang sudah ditetapkan. Untuk mengubah UUK, kata Isti’anah, akan ada proses politik antara yang mendukung dan yang menolak.
Ya, baru kali ini ada sabda raja yang dipermasalahkan. Bahkan tidak ada pada zaman HB IX sekalipun. Rakyat mengindahkan suara raja adalah suara Tuhan. Ada sebuah tulisan mengenai sistem kekerajaan yang ada di Asian Tenggara bahwa rakyat di Asia Tenggara sangat patuh terhadap perkataan rajanya.
Raja mereka dianggap raja setengah dewa atau lord king. Karena mereka percaya bahwa raja adalah utusan dewa, yang segala perkataannya adalah wahyu dari dewa, sehingga tidak mungkiin dibantah. Apa yang disabdakan oleh raja, maka rakyat akan berbesar hati untuk menerimanya.
Kehidupan masyarakat kerajaan di Asia Tenggara seperti lakon ketoprak. Pemain-pemainnya adalah orang-orang di kerajaan, sedangkan para wong cilik hanya sebagai penonton lakon ketoprak. Yang hanya bisa bertepuk tangan jika penampilannya baik, atau berkomentar sedikit jika kurang puas. Tapi itu dulu.
Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa pula rakyat harus protes?
Jawabannya cukup simpel, karena sabda raja sekarang bertentangan dengan kearifan Kerajaan Mataram Jawa yang telah diusung sejak lama. Bertentangan dengan pandangan hidup serta kognisi masyarakat Jogjakarta yang sudah terbangun.
Aturan di keraton adalah kepemimpinan bergelar khalifatullah (khalifah Allah) yang jelas berbau Islam. Kita tahu bahwa tabir kepemimpinan dalam Islam bergaris pada laki-laki atau patrilineal.
Gurita bisnis kesultanan Jogjakarta
Jogja City Mall (JCM) yang baru diresmikan Rabu, 27 Mei 2015 oleh Sri Sultan HB X Raja Keraton Jogja. Selain menyisipkan tenan yang memang menjual aktivitas wisata, mall ini sengaja di desain dengan gaya arsitektur Romawi, khas dengan pilar-pilarnya yang besar dan tinggi
Kesultanan dan Pakualaman Jogjakarta, tidak hanya memelihara jaring kekuasaan secara kultural sosial dan politik, melainkan juga dari sisi ekonomi dan bisnis.
Hal tersebut diungkap dalam penelitian yang dilakukan Kus Sri Antoro dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Terdapat setidaknya 10 jaring investasi bisnis berskala besar yang mereka bangun di provinsi pemegang hak keistimewaan ini.
Proyek apa saja yang dimiliki kasultanan Jogjakarta ? baca : INILAH KERAJAAN BISNIS RAJA NGAYOGJAKARTA HADININGRAT YANG MEMBAHANA